Penulis: Ilwadi Perkasa


  • Pj Gubernur Lampung Samsudin tetap ‘ngegas’ untuk meletakkan fondasi yang kuat dalam upaya pencapaian target swasembada pangan nasional.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Kendati menghadapi kondisi dan tantangan berat utamanya terkait anggaran, Pemprov Lampung berkomitmen akan memberikan dukungan optimal dan menemukan solusi terbaik untuk mendukung program swasembada pangan nasional.

    Samsudin mengakui masih banyak permasalahan yang harus dihadapi Provinsi Lampung di bidang pertanian yang  harus dijawab dan mendapatkan jalan keluar sesegera mungkin.

    “Terkait anggaran, biar pemprov mencari tambahan anggaran dari pemerintah pusat. Tekad kita sudah bulat, swasembada pangan di Propinsi Lampung dapat tercapai,” katanya kepada Progres.co.id, di Bandarlampung, Minggu, 29 Desember 2024.

    Samsudin menjelaskan, Lampung masih menghadapi permasalahan, yakni peningkatan jaringan irigasi, distribusi pupuk subsidi, pendayagunaan penyuluh pertanian, swasembada kopi, perikanan budidaya, ketersediaan pangan, harga pangan, infrastruktur jalan dan persampahan.

    Peningkatan jaringan irigasi menjadi sangat urgent untuk bisa mengamankan produksi padi yang diharapkan bisa melampaui proyeksi produksi padi pada 2024 sebesar 2,73 juta ton dengan rata-rata produktivitas 5,2 ton/ha.

    Masalahnya, kondisi jaringan irigasi di bawah kewenangan Pemprov Lampung banyak dalam kondisi rusak dan harus diperbaiki tahun 2025. Akibat dari kerusakan irigasi sebesar 37 persen tersebut cukup memengaruhi tingkat produktivitas dan kurang maksimalnya produksi padi di lahan sawah seluas 17.440 ton.

    Untuk menjawab tantangan itu, Samsudin menegaskan Pemerintah Provinsi Lampung telah mengusulkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum untuk membangun irigasi baru di Kabupaten Lampung Tengah.

    Ia juga menegaskan, Pemprov Lampung akan merehabilitasi jaringan irigasi yang menjadi kewenangan Provinsi supaya dapat mengairi lahan seluas 4.565 ha dengan baik dan lancar.

    Berdasarkan data yang dikutip Progres.co.id dari Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer ke Daerah tahun 2025, Provinsi Lampung memperoleh Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp267.36 miliar, dimana sebanyak Rp14,84 miliar untuk irigasi.

    Sedangkan untuk Peningkatan Saluran Tersier dan Kuarter di 15 kabupaten/kota sepanjang 104.050 meter, Pemprov sudah mengusulkannya kepada Kementerian Pertanian.

    Sementara untuk pupuk bersubsidi, Samsudin mengatakan alokasi dan realisasi serapan pupuk urea bersubsidi sampai dengan 25 Desember 2024 sudah mencapai 274.151 ton atau 78 persen.

    Pupuk NPK sudah terserap 315.186 ton atai 79 persen dari alokasi 396.891 ton. NPK Formula Khusus terserap 3.696 ton atau 15 persen dari alokasi alokasi sebesar 24.282 ton. Pupuk Organik baru terserap 5,5 persen dari alokasi 2.171 ton.

    Masih rendahnya penyerapan pupuk bersubsidi di Lampung diakui akibat masih rendahnya daya beli sebagian petani dan akibat pembatasan alokasi pupuk organik yang direkomendasikan oleh Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP).

    Rekomendasi tersebut mengatur batas kandungan C-organik pada tanah kurang dari 2 persen. Serapan rendah juga disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi pupuk bersubsidi yang mengakibatkan penambahan biaya angkut.

    Pj Gubernur Lampung Samsudin telah meminta adanya kemudahan untuk petani mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan peningkatan batas kandungan C-organik pada tanah dalam menentukan alokasi pupuk organik oleh Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP).

    Samsudin juga meminta adanya pemangkasan jalur distribusi pupuk bersubsidi dan mengajukan permohonan supaya BUMDesa yang sudah melakukan MoU dapat melakukan transaksi langsung dengan PT Pupuk Indonesia untuk menjadi distributor pupuk sesuai kesepakatan MoU.

    Pemprov Lampung juga mengupayakan pendayagunaan penyuluh pertanian yang saat ini baru ada 1.436 orang. Masih terlalu sedikit, memang, karena belum sepadan dengan jumlah desa di Lampung yang mencapai 2.643 desa.(*)



  • Lampung telah mengusulkan cetak sawah baru seluas 33 ribu hektare. Lahannya sudah dipersiapkan sejak 2024, namun finalisasinya masih menunggu keputusan  dari Kementerian Pertanian RI.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura Bani Ispriyanto menegaskan Provinsi Lampung belum mendapatkan program cetak sawah baru dari pemerintah pusat.

    “Lampung belum mendapat program cetak sawah baru. Kementan masih fokus untuk wilayah Merauke dan Kalimantan,” tulisnya lewat pesan singkat, Minggu (29/12/2024).

    Kendati demikian, Bani menjelaskan, Pemerintah Pemprov Lampung telah mengusulkan cetak sawah baru seluas 33 ribu hektare untuk mendukung tercapainya swasembada pangan di provinsi ini.

    Usalan cetak sawah baru tersebut diarahkan di Tulangbawang, Way Kanan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Mesuji dan Lampung Selatan.

    Sejauh ini, bebernya, pihaknya telah mempersiapkan lahan rawa seluas 28 ribu hektare sejak 2024 dan akan terus dioptimalisasi sampai 2025 untuk menjadi areal persawahan baru.

    Lahan cetak sawah baru tersebut sebagian besar masih dalam proses identifikasi lahan. Sekitar 8.000 hektare sebentar lagi rampung.

    Proses identifikasi lahan sawah baru dilakukan hati-hati. Lahan mesti bebas dari sengketa hukum dan tidak sedang digunakan untuk kegiatan apapun.

    “Lahan mesti ‘clear’ dan ‘clean’, artinya lahan tidak bersengketa. Persawahan baru mesti berkelanjutan, artinya jangan sampai beralih fungsi di kemudian hari,” ujarnya.(*)



  • Faktanya adalah Lampung masih kekurangan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).  Jumlahnya belum mampu mengkover kebutuhan penyuluh untuk seluruh desa. Kondisi ini bisa mengancam target swasembada pangan.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Anggota DPR RI Irham Jafar Lan Putra mengakui jumlah dan mutu penyuluh pertanian lapangan (PPL) di Lampung masih kurang. Saat ini di Lampung baru terdapat sekitar 1.300 PPL berstatus aparatur sipil negara (ASN). Padahal, di Lampung terdapat 2.654 desa/kelurahan.

    “Dari beberapa kali melakukan kunjungan kerja di Lampung dalam menyerap aspirasi, saya mendapat keluhan dari sejumlah PPL. Bahwa beban kerja mereka sangat berat karena satu orang PPL harus melayani lebih dari dua desa dengan puluhan kelompok tani,” kata Irham Jafar, Minggu (29/12).

    Ketua DPW PAN Lampung itu mengakui, pemerintah sedang menaruh perhatian besar terhadap keberadaan PPL ini. Terutama dalam mencapai program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah dan ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2027.

    “Insentif bagi PPL juga masih rendah, Masing-masing hanya menerima biaya operasional Rp320 ribu per bulan,” kata Irham.

    Pemerintah, menurut Irham, menyadari peran penting PPL. Yakni, sebagai pendamping petani dan pemberi petunjuk kepada petani agar mampu menghasilkan panen melimpah.

    Saat ini pemerintah sedang menggodok regulasi untuk menarik PPL langsung berada di bawah Menko Pangan. “Jumlah PPL juga akan ditambah dari yang sekarang 38 ribu orang di seluruh Indonesia menjadi 83 ribu orang. Sehingga nantinya satu desa akan dilayani oleh satu orang PPL,” katanya.

    Di setiap kecamatan sebetulnya sudah terdapat balai penyuluh pertanian (BPP). Tetapi fasilitas sebagian besar kantor penyuluh ini sangat memprihatinkan. Anggaran untuk BPP juga kecil sekali sehingga untuk melakukan pertemuan, kadang-kadang para penyuluh harus patungan dari uang pribadi. “Ada BPP yang tidak memiliki alat pengukur PH tanah dan alat penguji kadar air. Ini memprihatinkan. Ke depan, DPR akan meminta pemerintah melengkapi sarana dan prasarana BPP ini,” ujar dia.

    Sedangkan untuk meningkat kualitas penyuluh, DPR RI akan mendesak pemerintah rutin melakukan pelatihan dan bimtek bagi para penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka.



  • Sebanyak 678 ribu NIK  petani  terdaftar di Sistem Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) di Lampung bisa menebus pupuk bersubsidi pada 1 Januari 2025.

    Bandarlampung (Progres.co.id): PT Pupuk Indonesia (Persero) menyatakan siap mendistribukasi pupuk bersubsidi mulai 1 Januari 2025.

    Hak itu diungkapkan Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Tri Wahyudi Saleh di Jakarta, Rabu, 25 Desember 2024.

    Ia menjelaskan Pupuk Indonesia telah menyiapkan stok pupuk bersubsidi per 23 Desember 2024 sebanyak 1,47 juta ton yang terdiri pupuk bersubsidi 1,04 juta ton yang terdiri atas urea sebesar 546.758 ton, NPK sebesar 445.560 ton, NPK formula khusus sebesar 16.338 ton, dan organik sebesar 35.658 ton.

    Sedangkan, stok pupuk nonsubsidi sebesar 428.619 ton yang terdiri atas urea sebesar 357.384 ton dan NPK sebesar 71.235 ton.

    “Stok pupuk yang tersedia di seluruh Indonesia ada 1,4 juta ton dan ada sekitar 400 ribu ton tersedia di distributor dan kios, sehingga 1 Januari kita bisa distribusi. Harapannya para petani bisa memanfaatkan momen yang baik ini, cuaca cukup baik untuk bertanam, pupuknya tersedia, harapan Pak Presiden kita bisa mewujudkan swasembada pangan secepat-cepatnya,” kata Tri.

    Penyaluran pupuk bersubsidi pada awal tahun bisa dimanfaatkan petani di Lampung.

    Bila persyaratannya belum diubah, para petani yang sudah terdaftar dalam sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) dapat menebus pupuk subsidi dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP).

    Para petani dapat menebus pupuk bersubsidi di kios menggunakan aplikasi e-Alokasi untuk menyalurkan pupuk subsidi ke petani.

    Hanya petani yang terdaftar e-RDKK yang bisa menebus. Setiap penebusan dilakukan dokumentasi KTP petani dan melakukan foto bersama pupuk subsidi yang telah didapatkan.

    Kuota pupuk subsidi terus mengalami kenaikan, di mana pada 2024 telah mencapai 9,55 juta ton dari alokasi awal 4,7 ton. Penambahan kuota berdasarkan Kepmentan No 249 tahun 2024 tentang Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

    Dengan penambahan ini, alokasi pupuk bersubsidi di Lampung ikut bertambah. Kuota Urea bertambah menjadi 349.531 ton dari kuota sebelumnya 204.489 ton. Sedangkan kuota NPK naik menjadi 396.891 ton dari 185.654 ton dan NPK Formula Khusus sebanyak 24.282 ton dari 3.502 ton. (iwa)



  • Bandarlampung (Progres.co.id): Pemprov Lampung mulai menyusun Grand Design Ubi Kayu Berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas dan tata kelola komoditas unggulan daerah tersebut.

    Penyusunan Grand Design ini merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk menjadikan ubi kayu sebagai salah satu komoditas unggulan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

    Grand Design mencakup perencanaan jangka panjang yang berfokus pada pengelolaan sumber daya, peningkatan produktivitas, penguatan pasar, serta pengembangan produk turunan ubi kayu yang berdaya saing yang semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan petani.

    Secara nasional, Grand Design Ubi Kayu Berkelanjutan merumuskan sejumlah hal, mulai dari Misi, Tantangan dan Solusi. Berikut cakupannya:

    Misi

    1. Mengembangkan industri ubi kayu yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
    2. Meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar.
    3. Menghasilkan produk ubi kayu berkualitas tinggi.

    Tujuan

    1. Meningkatkan produksi ubi kayu secara berkelanjutan.
    2. Mengurangi dampak lingkungan dari produksi ubi kayu.
    3. Membangun sistem agribisnis yang efektif dan efisien.
    4. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkelanjutan.

    Strategi

    1. Penggunaan teknologi pertanian modern dan ramah lingkungan.
    2. Pengembangan varietas ubi kayu yang tahan terhadap hama dan penyakit.
    3. Penggunaan sistem irigasi yang efisien.
    4. Pengembangan sistem pemasaran yang efektif.
    5. Pelatihan dan pendampingan petani.
    6. Kerjasama dengan lembaga penelitian dan pengembangan.

    Komponen

    1. Budidaya Ubi Kayu: penggunaan lahan yang efektif, penggunaan benih berkualitas, dan pengendalian hama.
    2. Pengolahan: penggunaan teknologi pengolahan yang modern dan ramah lingkungan.
    3. Pemasaran: pengembangan sistem pemasaran yang efektif dan efisien.
    4. Kelembagaan: pembangunan lembaga yang mendukung pengembangan industri ubi kayu.

    Indikator Keberhasilan

    1. Peningkatan produksi ubi kayu.
    2. Pengurangan emisi gas rumah kaca.
    3. Peningkatan kesejahteraan petani.
    4. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkelanjutan.
    5. Pengembangan sistem agribisnis yang efektif dan efisien.

    Manfaat

    1. Meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat.
    2. Mengurangi dampak lingkungan.
    3. Meningkatkan produksi ubi kayu.
    4. Membangun sistem agribisnis yang efektif dan efisien.
    5. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berkelanjutan.

    Tantangan

    1. Perubahan iklim.
    2. Keterbatasan lahan dan sumber daya.
    3. Persaingan pasar.
    4. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petani.
    5. Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung.

    Solusi

    1. Penggunaan teknologi pertanian modern.
    2. Pengembangan varietas ubi kayu yang tahan.
    3. Penggunaan sistem irigasi yang efisien.
    4. Pelatihan dan pendampingan petani.
    5. Kerjasama dengan lembaga penelitian dan pengembangan.
    6. Pengembangan kebijakan yang mendukung.(*)

     



  • Pemerintah Provinsi Lampung konsisten menjadikan ubi kayu sebagai salah satu komoditas unggulan. Untuk memantapkan kondisi itu telah dimulai penyusunan Grand Design Ubi Kayu Berkelanjutan yang akan menjadi basis perencanaan yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan petani

    Bandarlampung (Progres.co.id):  Pemprov Lampung mulai menyusun Grand Design Ubi Kayu Berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas dan tata kelola komoditas unggulan daerah tersebut.

    Rapat penyusunan berlangsung pada Senin, 16 Desember 2024, di ruang rapat lantai 2 Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (KPTPH) Provinsi Lampung.

    Acara yang digelar secara daring, dipimpin langsung oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Lampung, Dr. Ir. Mulyadi Irsan, M.T.

    Langkah ini merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk menjadikan ubi kayu sebagai salah satu komoditas unggulan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

    Grand design ini diharapkan mencakup perencanaan jangka panjang yang berfokus pada pengelolaan sumber daya, peningkatan produktivitas, penguatan pasar, serta pengembangan produk turunan ubi kayu yang berdaya saing.

    Penyusunan Grand Design Ubi Kayu Berkelanjutan akan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan petani, dengan target menghasilkan solusi inovatif yang mendukung keberlanjutan sektor pertanian di Provinsi Lampung.(*)



  • Semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan. Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam!

    FENOMENA pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim di seluruh penjuru dunia. Dampaknya sudah sangat terasa, kendati upaya penyelamatan terus dilakukan melalui transisi energi dengan mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Masalahnya, transisi energi membutuhkan investasi sangat besar, sementara perubahan iklim terus terjadi hingga berdampak buruk di sektor paling mendasar, yakni naiknya harga pangan. Indonesia diprediksi, kelak akan mengalami, bahkan  sudah terdampak sejak satu dekade terakhir. Lalu mengapa harga singkong jatuh hingga merugikan petani?

    Laporan dari Oxford Economics menjelaskan soal dampak ini. Firma penasihat ekonomi independen bermarkas di Inggris ini meramal Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan yang cukup tinggi akibat perubahan iklim serta transisi energi yang terjadi di Asia Tenggara.

    Dalam laporannya pada Minggu (15/12), Oxford Economics menyebutkan bahwa negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan akibat cuaca yang tidak pasti hingga biaya melakukan transisi energi.

    Oxford Economics menuliskan harga pangan akan naik mulai dari 30% sampai 59%. Luar biasa, memang, tetapi tidaklah mengagetkan, sebab kenaikan harga pangan sesungguhnya telah terjadi di Indonesia.

    Laporan Oxford Economics membeberkan bahwa setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar satu persen akan mendorong kenaikan biaya produksi pangan sebesar 1-2% di ASEAN.

    Kenaikan biaya produksi dipastikan mengubah struktur harga pangan yang terus mengalami kenaikan dalam waktu cepat hingga menggerus daya beli masyarakat.

    Anjloknya Harga Singkong dan Tingginya Harga Tepung Tapioka

    Perubahan iklim jelas berdampak sangat buruk pada hasil pertanian. Produksi menurun, sementara biaya produksi meninggi yang disebabkan oleh aksi transisi energi.

    Fenomena anjloknya harga singkong di Lampung dapat dijadikan contoh kasus. Petani singkong frustasi karena pabrikan tak mampu mengatrol harga yang menguntungkan petani.

    Sejumlah sebab dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa kejatuhan harga singkong ini terjadi. Mulai dari kualitas singkong petani yang dinilai masih rendah hingga tuduhan negatif yang menuding pabrikan hanya mau untung sendiri. Kalangan politisi atau wakil rakyat di parlemen marah, lalu meminta pabrikan tutup saja bila tidak bisa menguntungkan petani.

    Perdebatan antara pengusaha dengan parlemen di Lampung gagal membuahkan solusi, kecuali tercetusnya rencana pembentukan Pansus Singkong yang dilatarbelakangi kemarahan.. Tidak ada pembicaraan soal perubahan iklim dan transisi energi.  Tidak ada kajian atau pertanyaan, mengapa harga singkong petani  jatuh, sementara harga pangan di bagian hilir (tepung) cenderung stabil, bahkan terus mengalami kenaikan.

    Faktanya, rata-rata kadar aci dari produksi singkong petani masih di bawah standar yang diinginkan pabrik tapioka. Dinas Tanaman Pangan harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini.  Tanaman singkong memang ‘sakti’, memiliki ketahanan dan adaptif  menghadapi perubahan iklim. Tapi bukan berarti tidak diurusi. Dinas Tanaman Pangan wajib mengajari petani, bahwa bercocok tanam singkong dengan hasil kualitas terbaik panen saat usia singkong sembilan bulan lebih.

    Selama ini ada kelaziman petani memanen terlalu dini hingga menimbulkan anomali, yakni antara harga beli di lini gudang pabrikan (singkong mentah) dengan harga jual tepung tapioka yang dihasilkan perusahaan. Anomali harga berada dalam rentang yang sangat jomplang,  meski singkong (dihulu) dan tapioka (dihilir) masuk dalam kelompok barang pangan.

    Diketahui, harga tepung tapioka saat ini berkisar antara Rp10 ribu sampai Rp30 ribu/kg, tergantung wilayah dan kualitasnya. Sementara petani singkong hanya memperoleh harga kurang dari seribu per kilo setelah dipotong rafaksi, dan itu merata terjadi di mana-mana.

    Anomali harga yang sangat jomplang tersebut sesungguhnya terjadi akibat dua hal tadi, yakni akibat perubahan iklim dan transisi energi. Perubahan iklim yang ekstrem mendorong petani memanen singkong sebelum 9 bulan karena  didorong oleh  desakan ekonomi atau karena faktor lain.  Atau, kejatuhan harga singkong barangkali disebabkan oleh  faktor supply yang melimpah dari kebun-kebun milik perusahaan sendiri sehingga memposisikan singkong milik petani sebagai bahan mentah substitusi. Atau akibat impor tapioka dari Thailand yang masuk ke Provinsi Lampung.

    Untuk menjawab ini pemerintah perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan solusi disamping mengatur harga dasar yang dirasakan dapat menguntungkan semua pihak.

    Harus  dipahami, bahwa anomali harga terjadi akibat aksi transisi energi yang memakan biaya tinggi. Biaya tersebut umumnya dibebankan pada petani, bahkan kepada konsumen sehingga berimbas langsung pada keluarga berpenghasilan rendah.

    Oleh karena itu, semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan.

    Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam! (*)

     



  • Nasib petani singkong kian Miris. Hasil panennya hanya dihargai 900 perak per kilogram. Anggota dewan coba tunjukkan keberpihakan. Mendesak pengusaha tapioka menaikkan harga singkong menjadi Rp1.500 dengan potongan 15 persen. Tapi pengusaha keukeuh. Mereka kompak gelengkan kepala.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPRD Provinsi Lampung terasa alot. Tak pelak rapat yang mengundang Asisten II Setda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Holtikultura, serta Dinas Perkebunan juga 25 pimpinan perusahaan industri pengolahan tapioka se-Provinsi Lampung itu berlangsung berlarut-larut.

    Padahal, seperti disampaikan Ketua Komisi II Ahmad Basuki, rapat dimaksudkan untuk mencari jalan keluar berkeadilan. Adil buat petani, adil pula bagi pihak pengusaha. Bukan sebaliknya, pengusaha untung tapi nasib petani buntung.

    “Kami tidak mau seperti itu. Semua harus diuntungkan dari kondisi ini. Makanya kami berpandangan sudah sewajarnya petani singkong memperoleh harga wajar dengan kondisi sekarang,” kata Basuki, Senin (16/12/2024).

    Dia mengimbuhkan, DPRD Lampung tegas menolak harga Rp900. Menurut Basuki, angka tersebut tidak rasional. Pandangan ini sejalan dengan aspirasi petani singkong yang sebelumnya sempat berunjuk rasa. Mereka menuntut pemerintah mendesak pabrik agar menaikkan harga singkong menjadi Rp1.500 per kilogram dengan rafraksi 15 persen.

    Mendengar kehendak itu 26 perwakilan pengusaha yang menghadiri RDP langsung angkat bicara. Mudah diterka, mereka menolak keras. Salah satu dasar penolakan yakni telah adanya kesepakatan Gubernur Lampung pada 2021 lalu.

    Disamping itu, sebut pihak pengusaha, dalam praktik keseharian di lapangan ada juga pengusaha yang telah membeli singkong petani di atas Rp900. Seperti Sungai Budi yang membeli dengan harga Rp1.050 per kg. Demikian pula dengan SPM, misalnya, yang membanderol Rp1.100 sampai Rp1.200 per kg.

    Alasan lain penolakan seperti disampaikan Tigor, perwakilan PT. Sinar Pematang Mulia. “Sebenarnya kami sudah membeli di atas harga kesepakatan. Tapi kalau dipatok menjadi Rp1.500 jelas terasa berat. Apalagi faktanya sekarang singkong yang dijual petani itu cuma seukuran wortel. Terlalu kecil. Jadi berat buat kami kalau pakai harga Rp1.500,” ungkapnya.

    Ukuran singkong atau usia tanam yang tidak cukup (di bawah 9 bulan) dikeluhkan pengusaha sebagai biang kerok kadar aci yang rendah.

    Merasa belum menemukan titik temu yang pas buat kedua belah pihak, DPRD Lampung melalui Ahmad Basuki, merekomendasikan pemerintah daerah untuk segera membentuk tim khusus. Tujuannya guna mengkaji dan merumuskan harga dasar eceran terendah singkong pada 2025 mendatang.

    Nanti, imbuhnya, kajian ini akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (perda) atau Peraturan Gubernur (pergub). Selain itu DPRD juga meminta Pemprov menetapkan singkong sebagai komoditas pangan unggulan Lampung.

    “Langkah itu semua perlu diambil. Biar hal serupa ini tidak berulang kembali. Kami minta dinas juga harus aktif melakukan pendampingan kepada petani untuk meningkatkan produktivitas lahan,” sergah Basuki.

    Sementara itu sebelumnya anggota Komisi II DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, telah menyoroti perihal anjloknya harga singkong. “Kondisi ini jelas tidak fair. Sangat tidak menguntungkan petani. Sudahlah harga (singkong) murah ditambah lagi dengan potongan tinggi,” ucapnya seperti dikutip media.

    Dia menambahkan, harga singkong yang melorot itu beriringan dengan biaya pengelolaan lahan yang cukup tinggi seperti pengadaan pupuk, biaya pemeliharaan, dan lainnya.

    Kondisi demikian menurut Mikdar kian membuat sesak nasib petani. Sementara untuk beralih menanam komoditi lain bukan merupakan solusi terbaik, mengingat kondisi (unsur hara) tanah yang sudah terlanjur rusak karena menanam singkong. Untuk memulihkan kesuburan tanah juga bukan perkara mudah. Sementara lahan petani juga terbatas. “Ini sangat tidak menguntungkan petani kita,” tegasnya.

    Di sisi lain Mikdar juga menyesali masih ada praktik nakal para pengusaha yang acapkali mengakali petani dengan “nyolong timbangan”. Dia juga menggugat dalih pengusaha yang membeli singkong dengan harga murah lantaran menganggap ukuran dan kualitas singkong tidak memadai.

    “Kalau memang perusahaan menganggap singkongnya belum cukup umur atau di bawah sembilan bulan ya jangan diterima. Kenyataannya bilang singkongnya nggak bagus, tapi tetap dibeli. Seperti ada standar ganda. Kan, kasihan petaninya,” ucap Mikdar prihatin. (*)