Harga dasar singkong dinaikkan oleh Pj Gubernur Lampung Samsudin. Beberapa hari kemudian diturunkan oleh Mentan Amran. Dua keputusan itu sama-sama didasari kesepakatan antara petani dan perusahaan. Bedanya, kesepakatan di Lampung diketik rapi bermaterai sepuluhribuan. Sedangkan di Kantor Kementan, tidak!
Mentan menetapkan harga dasar ubi kayu (singkong) nasional sebesar Rp1.350/kg dengan rafaksi 15 persen. Pabrikan ‘dipaksa’ harus membeli. Jika tidak maka perusahaan akan berhadapan dengan dirinya.
“Saya putuskan harga per hari ini, Rp1.350 per kilogram. Kalau melanggar, berhadapan dengan saya,” ujar Mentan Andi Amran Sulaiman saat menerima audiensi petani singkong dan industri tepung tapioka di Kantor Kementan, Jakarta, Jumat (31/01/2025).
Keputusan Mentan itu otomatis mengoreksi harga dasar yang ditetapkan oleh Pemprov Lampung sebesar Rp1.400/kg. Menariknya, keputusan Pemprov Lampung menaikkan harga singkong bertujuan untuk menyelamatkan petani dari kerugian. Mentan pun demikian. Tetapi dengan cara menurunkannya sedikit yang oleh Mentan Amran disebut sebagai jalan tengah.
Selesai? Tentu saja tidak!
Masih perlu diuji, apakah keputusan Mentan ini ditaati oleh perusahaan.
Saat ini ada tanda-tanda para pemborong singkong kesulitan menjual dagangannya. Pemborong bingung mau menjual ke mana, karena pabrik terdekat tidak mau menerima. Situasi ini berbahaya jika dibiarkan lama. Singkong yang disimpan lama akan berubah warna menjadi hitam atau biru yang disebabkan proses oksidasi.
Karena umbinya mengandung glikosida yang menghasilkan sianida (HCN), maka bila sudah berubah warna, sangat dianjurkan tidak mengonsumsinya karena bersifat racun.
Racun berbahaya. Menetapkan harga dasar dan memaksa perusahaan membeli singkong pada saat harga ubi kayu global jatuh juga berbahaya. Perusahaan bisa rugi. Bangkrut. Karyawan di rumahkan. Lalu tutup.
Ini fakta, silakan periksa! Banyak perusahaan tapioka di Lampung yang tumbang karena salah menentukan harga pembeliannya.
Seperti komoditi lain, harga singkong juga ditentukan oleh harga dunia atau lantai bursa. Naik turun. Dipengaruhi oleh situasi dan spekulasi pelaku pasar dunia.
Jika harga dunia Rp900/kg seperti terjadi pada pertengahan tahun 2024, maka perusahaan pasti memilih melakukan impor yang berharga murah sambil menyesuaikan harga beli di dalam negeri.
Lalu, apakah perusahaan tapioka di Lampung akan patuh dan taat dengan harga dasar Rp1.350/kg?
Jawabannya bisa ya atau tidak.
Iya, tetapi mengurangi volume pembeliannya dan menerapkan kualitas mutu (kadar aci) yang ketat. Ini biasa dilakukan perusahaan supaya tidak menanggung kerugian terlalu besar.
Tidak, dengan alasan merugi lalu menutup sementara pabriknya.
Provinsi Lampung sebenarnya sangat diuntungkan oleh banyaknya pabrik tapioka. Keberadaannya ada di mana-mana. Dekat dengan lahan petani. Upah angkutnya murah.
Perolehan hasil penjualan singkong petani (asli petani) sebenarnya lumayan. Menguntungkan. Terbukti setelah panen, petani ‘nyucuk’ lagi.
Masalahnya, perdagangan di komoditi ini juga ditingkahi oleh hadirnya para pemborong singkong. Justru merekalah yang menjadi pembeli pertama, lalu dijual ke pabrik-pabrik. Kelompok inilah yang bersuara paling keras bila harga singkong jatuh.(*)







