Kembang Kempis Pelaku Usaha Penggilingan Padi

0 Comments

Pada satu sisi, data menyebut banyak pelaku usaha penggilingan padi gulung tikar. Kalau pun ada yang tersisa butuh perjuangan berat untuk bisa bertahan. Kemunculan Asosiasi Penggilingan Padi Rakyat-Siger Lampung (Aspparasila) disebut sebagai salah satu upaya menyatukan kekuatan.

Bandarlampung (Progres.co.id): ASPPARASILA  diketuai oleh pengusaha asal Lampung Selatan, Hipni, di Bandarlampung pada Rabu (16/10). Tujuan pembentukan organisasi ini untuk mewadahi para pelaku usaha penggilingan padi di Lampung yang kini tengah mengalami hambatan regulasi dan legalitas.

Selain masih terkendala regulasi dan legalitas, terang Hipni, para pelaku usaha penggilingan padi juga sedang dihadang ancaman kebangkrutan yang disebabkan lemahnya regulasi pemerintah yang mengatur hasil padi.

“Regulasi yang tak berjalan menyebabkan pelaku usaha penggilangan sulit mendapatkan bahan baku. Padi dari Lampung banyak yang keluar daerah, sementara pengusaha lokal tak mampu bersaing harga,” katanya.

Dia menambahkan, Aspparasila nantinya akan memfasilitasi para pengusaha kecil untuk mendapatkan subsidi hingga mempermudah izin usaha. “Pengusaha kecil juga harus dilibatkan agar bisa berkembang,” harapnya.

Di samping itu, Hipni juga menyebut, pihaknya bakal memberi edukasi bagi pelaku usaha kecil terkait regulasi, hukum, dan lainnya. “Karena organisasi ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah, kita juga harus saling mengedukasi,” pungkasnya.

Seperti diketahui sebelumnya juga telah terbentuk Persatuan Pengusaha Penggilingan Padu dan Beras (Perpadi). Dengan kemunculan Aspparasila diharapkan iklim usaha penggilingan padi di wilayah Lampung akan semakin berkembang.

Sementara secara nasional dalam beberapa tahun terakhir banyak penggilingan padi skala rakyat terpaksa gulung tikar. Fenomena ini paling banyak terjadi di sentra-sentra beras seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah hingga Lampung.

Seperti disampaikan Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, penyebab banyaknya penggilingan padi skala kecil yang tutup permanen adalah pasokan gabah di tingkat petani yang merosot.

Berdasarkan data Perpadi, sejak 2023 ada sebanyak 40 persen pengusaha penggilingan padi tutup atau berhenti beroperasi. Penutupan usaha dilakukan lantaran para pengusaha tidak bisa berproduksi atau menggiling gabah karena stok kosong.

“Suplai padinya sedikit sementara kapasitas produksi penggilingan jauh di atas produksi gabah dalam negeri,” imbuhnya. Ia mengungkapkan, produksi padi saat ini sekitar 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG) dalam setahun. Angka ini jauh di bawah kapasitas giling dari semua penggilingan gabah di Indonesia mencapai 225 juta ton.

Akibat kapasitas produksi dan pasokan gabah yang tak imbang ini membuat idle capasity rata-rata penggilingan di Tanah Air jadi sangat tinggi. Artinya banyak mesin giling milik pengusaha penggilingan sepanjang tahun lebih banyak menganggur, bahkan tidak terpakai sama sekali.

Masalah yang dihadapi para penggilingan padi kecil tak berhenti di situ saja, pengusaha penggilingan rakyat juga babak belur bersaing dengan penggilingan padi bermodal besar.

“Produksi gabah dalam negeri 54 juta ton dari semua petani secara nasional. Sementara kapasitas penggilingan 225 juta ton. Ini berakibat pada persaingan berebut gabah,” terang Soetarto. 

Dengan kata lain, lanjutnya, yang bermodal kuat pasti yang menang. Di situlah yang menyebabkan banyak penggilingan kecil banyak mati. Ditambah lagi ada banyak pabrik penggilingan-penggilingan besar dibangun yang makin mempercepat fenonema bangkrutnya penggilingan padi kecil.(*)

Further reading