Pergolakan KUR versus Bankir Alergi Petani

0 Comments

Petani kerap dijadikan komoditi. Diperjual belikan atau dibarter dengan reputasi. Pada rezim lalu, pemerintah terkesan begitu peduli petani dengan menyediakan KUR berdosis tinggi.

(Progres.co.id): Tapi tengok realitasnya. Pihak bank enggan meneteskan kredit usaha rakyat ke petani lantaran dianggap tidak memiliki agunan dan usaha tani tergolong berisiko tinggi. Alhasil petani tetap mengelus dada, sementara berkat lips service pemerintah terlanjur dianggap berpihak pada Kaum Marhaen dan menangguk keplok tangan.

Kuasa berganti. Presiden Prabowo kini sebagai pemegang tongkat komando. Ada yang bilang sosok satu ini membuat lompatan besar dengan menaruh perhatian serius pada sektor pangan, kendati sayup terdengar ada juga yang menyebut dia meng-copy paste sepak terjang mantan mertuanya yang saat memerintah berhasil membuat Indonesia ber-swasembada beras.  

Terlepas dari semua itu nyatanya garis kebijakan sudah ditorehkan. Prabowo menitahkan, Indonesia mesti bisa mengulang kesuksesan itu dalam tempo sesingkat-singkatnya. Swasembada pangan wajib diwujudkan. Tak pelak semua elemen pun dikerahkan. Segala daya upaya dilakukan. Termasuk menginstruksikan Himbara(Himpunan Bank Milik Negara) untuk menyiapkan kas yang nantinya disalurkan sebagai KUR kepada petani dan pembiayaan pengadaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) serta Rice Milling Unit (RMU) atau alat mesin pertanian yang difungsikan untuk menggiling gabah menjadi beras.

Angka KUR yang dianggarkan juga tidak main-main menyentuh Rp300 triliun. Hanya saja belajar dari pengalaman sebelumnya, para petinggi bank dalam Himbara terbiasa “berkepribadian ganda” atau sebut saja terlatih ‘bermuka dua”. Di satu sisi mulutnya gamblang menyahut “Yes, Sir!” pada Presiden Prabowo, sementara di sisi lain wajahnya menyiratkan air muka keraguan berkadar tinggi untuk menyalurkan KUR pada petani.

Tak bisa dipungkiri bagi para bankir, petani yang notabene rakyat jelata itu, berpotensi tinggi kredit macet. Pada benak mereka seakan telah bersemayam ancaman bahaya laten dari orang-orang miskin yang nantinya bakal sangat mungkin berlindung di balik keluhan gagal panen atau hal lainnya. Ada segudang kecurigaan terhadap petani kita.

Untungnya dalam penjelasan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman ditegaskan, petani dapat memperoleh KUR senilai Rp100 juta tanpa agunan. Semoga jaminan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya di tataran penerapan. Jangan sampai anggota Himbara kembali menjalankan standar ganda yang pada praktiknya enggan menoleh ke petani.

Oh iya, bagi para bankir yang masih demen curiga pada petani. Anda sekalian sangat mungkin tahu cerita tentang Prof. Muhammad Yunus. Peraih nobel dari Bangladesh. Di negaranya, lelaki 84 tahun ini, dikenal sebagai pelopor keuangan mikro. Predikat itu tidak ujug-ujug disematkan tanpa latar belakang. Sama seperti peran bankir di Indonesia yang menyalurkan pinjaman ke nasabah, Yusuf pun bertindak serupa. Hanya bedanya kalau Himbara “alergi” dengan petani miskin, Prof. Yunus justru meminjamkan dana pada masyarakat paling miskin di Bangladesh.

Dia menyorongkan bantuan keuangan kepada pengusaha skala kecil yang tidak dibantu bank-bank konvensional. Karena terobosannya yang di luar kelaziman itu dia juga dijuluki sebagai ‘bankir kaum miskin’. Hingga akhirnya diganjar penghargaan nobel PBB.

Kalau belajar dari upaya Prof. Yunus, masihkah bankir Indonesia tetap menggenggam penilaiannya sambil terus melabeli petani dan orang miskin musuh bebuyutan KUR yang mesti dihindari. Atau jangan-jangan keengganan mengopeni rakyat jelata itu, lantaran ketiadaan mental dari para bankir penikmat gaji tinggi dan penyicip seabrek fasilitas luks itu yang mampu (tepatnya bersedia) bekerja keras sambil telaten mengurusi karakter petani?

Untuk memperoleh jawabannya perlu kontribusi publik dalam bentuk partisipasi aktif mengawal pelaksanaan instruksi Mentan Amran. Sambil mencermati langkah para bankir di Himbara agar tidak mbalelo menelikung kebijakan Presiden Prabowo.(*)

Further reading