Petani yang Murung, Diminta Optimis Sambil Terus Dihimpit

0 Comments

Ikaperta (Ikatan Alumni Pertanian) Unila menggelar diskusi publik. Tematiknya memotret wajah pertanian kita. Ironisnya, yang terlintas di benak justru gambaran nasib petani yang miris, dan kebijakan pertanian yang ugal-ugalan yang disusun di ruang-ruang berpendingin sambil mengunyah roti mahal. Ketimpangan tergelar di depan mata kita.

(Progres.co.id): DALAM diskusi itu Guru Besar Agribisnis, Fakultas Pertanian, Unila, Prof Wan Abbas Zakaria, bilang kita ini memelihara dilematis berlama-lama. Mengaku negara agraris tapi 2023 lalu mengimpor 3 juta ton beras. Tren ini diyakini bakal berlanjut. Mengingat luasan panen dan produksi padi terus melorot.

Mengapa itu bisa terjadi? Tak lain dan tak bukan lantaran belum ada kebijakan yang benar-benar serius pro petani. Sekali lagi, masih langka kebijakan yang sejak dari niatan sudah tulus peduli nasib petani, bukan yang bersifat seolah-olah.

Karena watak “pencitraan” yang kerap dikedepankan, tak heran kalau banyak regulasi di bidang pertanian tak mampu membikin banyak perubahan. Urusan di seputar sektor ini cenderung berkutat ke persoalan yang itu-itu saja. Karena memang tidak ada kesungguhan untuk mengurai benang kusut itu.

Tak pelak, karut marut ini makin melilit kaki-tangan dan pikiran para petani. Petani gelisah, keluarga petani ikut susah. Padahal, menurut data yang diketengahkan Prof Wan Abbas, setidaknya terdapat 27,68 juta rumah tangga pertanian di negeri ini. Bisa terbayang ada kesusahan berjamaah di sekian banyak petani kita.

Kekurang seriusan pemerintah itu sesungguhnya bisa dirasakan semenjak dari hulu hingga hilir dunia pertanian. Kita bisa bercermin dari pengalaman Mardianto, pendiri Agritech Start Up, MASTANI. Bidang kerja perusahaan ini berinteraksi langsung dengan bibit padi, lahan dan ribuan petani.

Dengan ritme kerja serupa itu, pihaknya membutuhkan mesin penanam bibit padi yang efisien dan efektif. Survei untuk mencari alatnya sudah diupayakan ke sana kemari, tapi tak kunjung didapati. Untung ada Vietnam. Mereka punya apa yang sedang dicari oleh alumni Pertanian Unila itu.

Mardianto bilang, teknologi (biarpun sederhana) semacam itu, sangat dibutuhkan pihaknya untuk mendongkrak target produktivitas padi 12 ton per hektar. Sementara rerata produktivitas nasional hanya berkutat di hasil panen 5,2 ton per hektar saja. Kok bisa produksi setinggi itu? Ya, bisa. Kalau memang diurus serius.

Terlanjur menyebut Vietnam, Dekan Fakultas Pertanian Unila Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., sebelumnya bercerita. Bersama Rektor Unila dirinya pernah berkunjung pada dua universitas di Vietnam. Seminggu ia di sana. Sebuah rentang waktu yang cukup untuk menghimpun informasi dan mengamati kinerja para akademisi pertanian di negeri komunis tersebut.

Lantas apa yang bisa Kuswanta simpulkan dari kunjungannya? Satu kata, ngeri! Menurutnya, teknologi pertanian dan keseriusan negara komunis itu di bidang pertanian sudah jauh berkembang. Dia berkeyakinan kalau cara penanganan sektor pertanian di Indonesia masih seperti ini, niscaya akan makin jauh tertinggal, diasepin Vietnam.

Tapi tak perlu terkejut mendengar kabar itu. Karena memang tak mudah berharap banyak dari kebijakan. Mari belajar sabar dari petani-petani tangguh kita. Biarpun nasib keluarga dan masa depan anak-anaknya terpontang-panting, lantaran menggantungkan nasib di pertanian yang luas lahannya tak seberapa itu. (*)

Further reading