Tag: Desa Wisata

  • Foto Alpukat Sipit Kelawi Bakauheni Harta Karun Agrowisata Lampung Selatan Petani Syahbana - Yopie Pangkey

    Menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks, Desa Kelawi di Lampung Selatan menemukan solusi inovatif melalui budidaya alpukat Sipit Kelawi. Varietas lokal ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi produk pertanian desa, tetapi juga membuka peluang usaha baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Lampung Selatan (Progres.co.id): Siapa sangka, di balik keindahan Pantai Minang Rua di Desa Kelawi, tersembunyi harta karun yang tak ternilai. Harta karun itu bukan emas atau permata, melainkan buah alpukat dengan varietas unik bernama Sipit Kelawi.

    Hari ini, saya diajak oleh Syahbana, seorang petani alpukat dan pegiat wisata desa, untuk mengunjungi halaman belakang rumahnya.

    Di sana, deretan pohon alpukat Sipit Kelawi tertanam rapi dengan jarak tanam 4×5 meter. Diameter batangnya mencapai sekitar 40 cm, dan tingginya rata-rata 4 meter. Dengan penuh semangat, Syahbana menunjukkan salah satu pohon yang dipanennya belum lama ini.

    “Alpukat Sipit Kelawi ini istimewa,” ujar Syahbana sambil menunjukkan satu persatu pohon alpukatnya. “Daging buahnya tebal, bijinya kecil, daging buah padat, rasanya manis dan legit, serta lebih tahan lama.”

    “Buahnya berbentuk oval dan berukuran kecil, beratnya antara dua ratus lima puluh sampai tiga ratus gram. tapi dia menang padat. Pembeli bisa mendapat antara tiga sampai empat buah perkilo, tapi itu banyak daging buahnya,” paparnya.

    Asal Mula Alpukat Sipit Kelawi

    Syahbana menceritakan kepada saya, asal mula alpukat di desanya sebenarnya berasal dari Pulau Jawa yang dibawa oleh tetua desa di tahun 1960an.

    “Waktu itu ada yang sering membawa buah alpukat sebagai oleh-oleh dari Pulau Jawa. Setelah dimakan, bijinya ditanam hingga tumbuh menjadi pohon besar.” ia mengisahkan.

    “Namanya menanam dari biji, hasilnya ada tiga kemungkinan. Bisa lebih bagus, bisa lebih jelek, atau bisa saja menjadi varietas baru.” jabarnya.

    Dari yang tumbuh menjadi varietas baru itulah, Alpukat Sipit Kelawi berasal dan menjadi varietas lokal kebanggaan desa.

    Rekor MURI dan Keunggulan Alpukat Sipit Kelawi

    Alpukat Sipit Kelawi bukan sekadar varietas lokal. Varietas ini telah mendapatkan pengakuan nasional. Desa Kelawi telah mencetak rekor MURI sebagai desa wisata pertama yang memiliki varietas buah alpukat khas ini. Rekor tersebut diberikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Uno, kepada pemerintah Desa Kelawi pada Agustus 2023.

    Selain itu, Desa Kelawi juga meraih juara kedua dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 kategori Desa Wisata Maju.

    Varietas ini memiliki daya tarik tersendiri. Menurut Syahbana, peminat alpukat Sipit Kelawi tidak pernah surut meskipun harganya relatif tinggi. Bahkan, pelanggan harus memesan terlebih dahulu karena permintaan sering kali melebihi pasokan.

    “Buah ini punya pasar sendiri. Banyak yang rela datang ke kebun untuk membelinya langsung. Keunggulannya bukan hanya pada rasa, tetapi juga pada kualitasnya yang tahan lama,” ujar Syahbana.

    Menghidupi Keluarga dari Alpukat

    Pria kelahiran 28 Januari 1982 ini mengaku mampu menghidupi keluarganya yang terdiri dari satu istri dan lima anak melalui hasil panen alpukat. Dengan lahan seluas tiga hektare yang ditanaminya, Syahbana bisa memanen hingga 15 ton alpukat setiap tahunnya.

    Harga jual alpukat di desanya bervariasi, mulai dari Rp10.000 hingga Rp16.000 per kilogram tergantung musim dan kualitas hasil panen. Namun, saat ini harga jual alpukat mengalami penurunan, hanya sekitar Rp8.000 per kilogram.

    Meski begitu, Syahbana tetap optimis dan terus berupaya menjaga kualitas hasil panennya agar dapat menarik minat pasar dengan harga yang lebih baik.

    “Ini juga menjadi PR bagi kami untuk membuat branding Alpukat Sipit Kelawi menjadi lebih dikenal. Kalau sudah ada merek di produk dan branding-nya bagus, harga alpukat otomatis bisa lebih tinggi dan stabil,’ terangnya.

    Program Satu Keluarga Dua Pohon

    Syahbana menuturkan, karang taruna dan Pokdarwis di desanya menggagas program “Satu Keluarga Dua Pohon”. Hingga kini, mereka telah membagikan lebih dari 800 bibit alpukat kepada warga Desa Kelawi.

    Program ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran warga tentang potensi ekonominya tetapi juga menjadikan setiap sudut desa terlihat asri.

    “Ini juga bagian dari konsep ekonomi hijau yang kami terapkan,” jelas Syahbana.

    “Dan ini bisa kita kombinasikan dengan wisata pantai Minang Rua yang sudah terkenal. Wisatawan bisa kita ajak keliling desa dan membeli alpukat langsung dari pohonnya,” imbuhnya.

    Harapan dan Masa Depan Alpukat Sipit Kelawi

    Saat ini, BUMDes Kelawi bersama Syahbana tengah mencari cara agar Alpukat Sipit Kelawi dapat dipanen lebih dari tiga kali dalam setahun. Mereka juga bekerja sama dengan para ahli pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas buah.

    “Kami bercita-cita menjadikan alpukat Sipit Kelawi sebagai ikon agrowisata Lampung Selatan. Dengan upaya bersama, kami yakin alpukat ini dapat semakin terkenal di Indonesia,” ujar Syahbana penuh optimisme.


  • Inspirasi Ketahanan Pangan Satu Abad dari Kampung Cireundeu @visitcireundeu - 2

    Selama lebih dari satu abad, Kampung Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat, telah menjadi contoh nyata ketahanan pangan berbasis kearifan lokal. Masyarakatnya menggantikan nasi dengan singkong sebagai makanan pokok, mencerminkan harmoni antara tradisi dan keberlanjutan.

    (Progres.co.id): Kampung Cireundeu, yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, telah mencuri perhatian karena pola konsumsinya yang unik dan bertahan selama satu abad.

    Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang bergantung pada nasi sebagai makanan pokok, masyarakat adat di Kampung Cireundeu memilih singkong sebagai sumber utama ketahanan pangan mereka. Pilihan ini tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga simbol kemandirian dan pelajaran berharga tentang ketahanan pangan.

    Banyak orang datang untuk melihat dari dekat konsep yang sudah berlangsung 1 abad lamanya. Mempelajari ketahanan pangan yang sekaligus kesadaran untuk menjaga lingkungan yang diajarkan secara turun-temurun.

    Menyambut Tradisi Cireundeu

    Inspirasi Ketahanan Pangan Satu Abad dari Kampung Cireundeu @visitcireundeu - 1
    Banyak pengunjung yang datang untuk mempelajari kehidupan sehari-hari warga Kampung Cireundeu. (Foto: Instagram @visitcireundeu)

    Memasuki Kampung Cireundeu, pengunjung akan disambut oleh papan petunjuk bertuliskan “Bale”, “Masjid”, dan “Sentra Oleh-oleh”.

    Peta wisata yang menampilkan rute jalan, gambar gunung, dan monumen Meriam Sapu Jagat sebagai simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan turut menyambut kedatangan pengunjung. Selain itu, ucapan selamat datang dalam bahasa Sunda pada papan kayu besar menambah nuansa adat yang kental.

    Kampung adat ini berdiri di atas lahan seluas 64 hektare, dengan 60 hektare digunakan untuk pertanian dan 4 hektare sebagai permukiman warga. Di sekitar kampung, terdapat hutan adat seluas 80 hektare yang berfungsi sebagai penampung air alami.

    Kampung ini dihuni oleh sekitar 1.200 jiwa yang tersebar di tiga Rukun Tetangga (RT). Dengan komposisi 650 laki-laki dan 550 perempuan, yang masuk dalam 367 kepala keluarga.

    Melewati gerbang masuk, pengunjung akan disambut dengan bangunan tempat pertemuan atau pegaelaran kesenian seluas 200 meter persegi. Bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu ini disebut Saung Baraya dan Bale Saresehan.

    Jika berkunjung di bulan Sura, pengunjung bisa menyaksikan pertunjukan wayang golek di kedua bale tersebut. Sebuah pertunjukan sebagai bentuk syukur kepada Sang Pecipta.

    Dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, Kampung Cireundeu menawarkan panorama alam yang asri sekaligus pelajaran tentang kearifan lokal.

    Filosofi Tanpa Nasi

    Salah satu tradisi yang dipegang teguh masyarakat Cireundeu adalah ajaran untuk tidak mengonsumsi nasi.

    Filosofi ini tercermin dalam petuah leluhur mereka: teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.

    Artinya, tidak punya sawah asalkan punya padi, tidak punya padi asalkan punya beras, tidak punya beras asalkan masak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak makan asalkan kuat.

    Sebagai gantinya, masyarakat mengonsumsi rasi, yaitu nasi yang terbuat dari singkong.

    Pemilihan singkong sebagai makanan pokok bermula pada 1918 ketika Kampung Cireundeu menghadapi kekeringan yang mengakibatkan paceklik pangan.

    Pada 1924, masyarakat kampung sepakat menjadikan singkong sebagai makanan utama, menggantikan nasi. Keputusan ini tidak hanya membantu mereka bertahan dalam masa sulit tetapi juga menjadi identitas budaya yang diwariskan hingga kini.

    Masyarakat kampung mengonsumsi singkong dengan cara digiling terlebih dahulu. Lalu diendapkan dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampasnya dikeringkan dan dibuat men­jadi rasi. Singkong juga diolah menjadi berbagai makanan ringan.

    Kandungan Gizi Singkong

    Menurut Badan Pangan Nasional, singkong memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dan indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan nasi, sehingga dapat membantu mengurangi risiko diabetes.

    Dalam 100 gram singkong rebus terdapat sekitar 2,3 gram serat, sedangkan nasi putih hanya mengandung 0,4 gram serat. Keunggulan ini menjadikan singkong sebagai makanan yang lebih sehat dan memberikan rasa kenyang lebih lama, cukup dengan dua kali makan sehari.

    Dari segi ekonomi, masyarakat Cireundeu tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga beras. Singkong yang dapat ditanam sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim menjadi solusi pangan yang berkelanjutan.

    Masyarakat juga mengolah singkong menjadi berbagai produk olahan seperti opak, cireng, simping, dendeng kulit singkong, hingga bolu, yang dijual sebagai oleh-oleh khas.

    Ketahanan Pangan Ala Cireundeu

    Konsep ketahanan pangan yang diterapkan masyarakat Cireundeu tidak hanya menginspirasi, tetapi juga menarik banyak pihak untuk belajar.

    Pada 2010, Kampung Cireundeu resmi menjadi destinasi dan desa wisata. Banyak pelajar, mahasiswa, hingga peneliti yang datang untuk mempelajari pola konsumsi unik ini. Mereka tertarik pada prinsip kemandirian dan kesadaran menjaga keseimbangan hidup dengan alam yang diterapkan masyarakat adat.

    “Ketahanan pangan bukan hanya tentang menyediakan makanan, tetapi juga tentang bagaimana kita memanfaatkan sumber daya lokal dengan bijaksana,” ujar Abah Widi, kepala adat Kampung Cireundeu, seperti dikutip dari Indonesia.go.id.

    Ia berharap konsep ini dapat diadopsi oleh masyarakat lain agar Indonesia tidak terus bergantung pada beras impor.

    Tradisi mengonsumsi rasi dan ritual adat seperti Tutup Taun Ngemban Taun pada 1 Sura telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh pemerintah pusat dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat.

    Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jabar, Febiyani, mengingatkan pentingnya melestarikan tradisi ini.

    “Dua tradisi ini harus diturunkan ke generasi berikutnya, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan,” katanya.

    Modernisasi dan Keunikan yang Terjaga

    Meski mempertahankan tradisi, masyarakat Cireundeu tidak menutup diri dari perkembangan zaman. Peralatan modern seperti televisi dan ponsel sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

    Bangunan rumah yang dulu banyak berdinding bambu kini mulai berganti dengan dinding semen dan bata. Namun, semangat menjaga warisan leluhur tetap menjadi prioritas.

    Kampung Cireundeu menjadi contoh nyata bahwa tradisi dan modernisasi dapat berjalan berdampingan. Dengan mengedepankan kearifan lokal, mereka tidak hanya berhasil menjaga ketahanan pangan tetapi juga menjadi inspirasi bagi masyarakat luas.

    Konsep yang mereka terapkan menunjukkan bahwa solusi pangan tidak harus bergantung pada satu komoditas, melainkan dapat disesuaikan dengan potensi lokal yang tersedia.

    Inspirasi dari Cireundeu

    Keunikan Kampung Cireundeu dalam menerapkan konsep ketahanan pangan telah mengajarkan pentingnya kemandirian dan keberlanjutan. Pola konsumsi berbasis singkong yang telah bertahan selama satu abad ini menjadi simbol ketahanan masyarakat di tengah perubahan zaman.

    Tradisi ini tidak hanya relevan bagi mereka, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia.

    Dengan menjaga keseimbangan antara alam dan kebutuhan manusia, Kampung Cireundeu menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar menyediakan makanan, tetapi juga tentang bagaimana kita hidup selaras dengan alam.

    Semoga inspirasi dari Kampung Cireundeu dapat memotivasi daerah lain untuk memanfaatkan potensi lokal dan menjaga warisan budaya demi keberlanjutan generasi mendatang.

    Sumber: Indonesia.go.id