Tag: harga singkong


  • Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Yudi Sastro bersama Satuan Tugas (Satgas) Pangan telah melaksanakan tugasnya mengawasi regulasi harga singkong di Lampung. Hasilnya akan dilaporkan kepada Presiden.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Dirjen Tanaman Pangan Yudi Sastro dan Satgas Pangan berada di Lampung Tengah pada Senin (3/2/2025).

    Ia telah mengantongi sejumlah catatan penting untuk dilaporkan kepada Mentan Amran. Salah satunya adalah soal tidak berjalan baiknya regulasi harga singkong Rp1.350/kg setelah dia ketahui banyak pabrik tapioka yang tutup setelah  regulasi harga dan rafaksi ubi kayu atau singkong diberlakukan.

    “Terkait ini akan kami didiskusikan kembali. Karena Satgas Pangan ada di bawah Presiden, nanti mereka akan melaporkan mengenai masalah ini langsung ke Presiden,” katanya.

    Tentunya keputusan Presiden Prabowo terkait hasil pengawasan Satgas Pangan ini sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku per ubikayuan di Lampung. Sebab telah terjadi semacam penolakan terhadap penetapan harga Rp1.350/kg tersebut oleh perusahaan dengan alasan tutup beroperasi.

    Tidak Menentu

    Progres mencermati telah terjadi situasi yang tidak menentu setelah adanya regulasi harga singkong yang berlaku di penghujung Januari 2025 itu.

    Banyak perusahaan tapioka yang tutup sehingga petani  kebingungan menjual hasil panennya. Sementara sebagian petani yang ‘sabar’ memilih menunda panen sambil menunggu adanya kenaikkan harga yang lebih baik.

    Sebelumnya Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman atas dasar kesepakatan antara petani singkong dan pengusaha tapioka telah menetapkan harga singkong Rp1.350/kg dengan rafaksi 15 persen pada Jumat (31/1/2025).

    Menurut Mentan, penetapan harga tersebut merupakan respons dari pemerintah untuk menjaga tingkat kesejahteraan petani.

    Dengan harga terbaru itu, ungkap Amran, para petani singkong diharapkan tidak lagi merasa dirugikan, serta bisa berkolaborasi dengan para pengusaha industri di Tanah Air.



  • Kesepakatan harga singkong Rp1.400 per kilogram bukan perkara gampang untuk diterapkan. Kesimpulan itu disampaikan Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung usai menyambangi Lampung Utara, Lampung Tengah, Mesuji dan Lampung Timur.

    Bandarlampung (Progres.co.id): “NGGAK mudah,” ucap Mikdar Ilyas, selaku Ketua Pansus kepada wartawan, Senin (20/1/2025). Pernyataan itu disampaikannya usai bertemu banyak pihak. Baik petani singkong maupun kalangan pengusaha tapioka di daerah.

    “Benar, rujukan harganya masih pada ketetapan gubernur. Hanya saja nantinya tetap ada banyak hal yang patut dipertimbangkan, terlebih setelah pansus menengok langsung ke lapangan,” imbuhnya. Pertimbangan yang dimaksud, misalnya, mulai dari kualitas singkong, persaingan, kondisi perusahaan, harga yang berimbas ke semua pihak, petani dan perusahaan.

    Di pihak petani, imbuh Mikdar, mengeluhkan perihal harga singkong Rp1.400 per kilogram yang disepakati Desember 2024 lalu, namun sampai sekarang belum juga dijalankan. Kalaupun ada perusahaan yang berkenan menerapkannya, hanya berlaku untuk kualitas singkong berkadar aci 24 persen.

    Sedangkan dari pihak pabrik tapioka, jelas-jelas mengaku belum bisa mengikuti aturan sesuai surat edaran Pj Gubernur. “Mereka bilang, kalau nekat beli sesuai harga kesepakatan, bukan untung malah buntung,” kata Mikdar menirukan ucapan pihak perusahaan yang ditemuinya.

    Kerugian yang dimaksud pabrikan menyangkut ketidaksesuaian dengan kadar aci yang diharapkan. Sementara kadar aci singkong dari petani terbilang rendah. Alhasil untuk mengolah 1 kilogram tepung memerlukan 5 sampai 6 kilogram singkong. “Kondisi serupa ini akan membuat ongkos produksi sangat tinggi dan merugikan pabrik,”  kata Mikdar.

    Sementara di pihak lain, masih terdapat perusahaan besar yang mengimpor tapioka dari luar negeri dengan harga jauh lebih rendah dari produksi lokal. Tak pelak perusahaan lokal kalah bersaing.

    Belum lagi, lanjut Mikdar, sudah ada kesepakatan standar harga yang berlaku di antara distributor tepung tapioka. “Perkaranya memang kompleks,” katanya.

    Namun demikian, sambung dia, pihak perusahaan bakal berkenan mengikuti aturan pemerintah yang disepakati sebelumnya, asalkan ada regulasi yang menguntungkan semua pihak.

    “Semua informasi ini nantinya akan kami bawa ke Jakarta. Terutama ke Kementerian Perdagangan, Pertanian maupun Kementerian Perindustrian,” jelas Mikdar.(*)



  • Seribuan petani singkong dari tujuh kabupaten melakukan aksi protes di kantor pemerintah Provinsi Lampung. Mereka menuntut kepastian terkait pelaksanaan Kesepakatan tentang harga singkong yang hingga kini tidak dapat dijalankan secara efektif.

    Bandar Lampung (progres.co.id): Para petani menilai pihak pengusaha pabrik singkong membangkang terhadap ketetapan harga yang telah diatur disepakati bersama. “Seperti apa gubernur kita, seperti apa wakil rakyat kita? Ketika keputusan sudah dibuat, tapi tidak dijalankan, ini justru menciptakan masalah di pabrik-pabrik singkong,” ujar salah satu petani dalam orasinya, Senin (13/1/2025).

    Mereka menyoroti ketidakadilan yang dirasakan akibat penurunan harga singkong yang terjadi belakangan ini, terutama karena tingginya curah hujan yang memengaruhi kualitas panen.

    Harga singkong berdasarkan kesepakatan bersama antara DPRD, perwakilan Petani singkong, Pj Gubernur dan perusahaan industri tapioka sepakat Rp1.400 per/kg dengan potongan rafaksi 15%, kini kembali turun drastis, sehingga membuat petani semakin tertekan.

    “Kami ini petani, tertindas oleh perusahaan. Kalau keputusan gubernur saja tidak dihargai, apalagi nasib kami. Harga bukan naik, malah rafaksi yang naik sampai 30-35%,” tambah petani lainnya dengan nada kecewa.

    Para petani mengancam akan terus melakukan aksi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Mereka juga meminta pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap pihak pengusaha yang tidak mematuhi aturan.

    “Kami ini hanya ingin keadilan. Kalau harga tetap begini, kami tidak punya daya untuk melanjutkan usaha. Kami siap turun untuk aksi lebih besar jika tidak ada solusi yang diberikan,” tegas salah satu perwakilan petani.

    Dalam orasi ini diikuti ribuan masa dari 7 Kabupaten di Lampung diantaranya Lampung Utara, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Way Kanan dan Mesuji.(*)



  • Cerita tentang harga ubi kayu di Lampung meliuk-liuk seperti akar singkong. Meski DPRD sudah sempat turun tangan, jalan tengah belum juga ditemui. Sampai akhirnya Pj Gubernur Samsudin mengumpulkan semua pihak yang “bersengketa”.

    Bandarlampung (Progres.co.id): PADA rapat yang difokuskan membahas harga singkong tersebut, Pemprov Lampung menghadirkan perwakilan petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung. Sedangkan dari kalangan pengusaha hadir puluhan perwakilan perusahaan tapioka.

    Banyak pihak sebelumnya memprediksi rapat yang berlangsung Senin (23/12/2024) itu bakal alot. Mengingat kedua belah pihak, antara petani singkong dan perusahaan, selama ini bersikukuh dengan tuntutan dan argumentasinya masing-masing.

    Para petani mendesak pemerintah untuk meminta pabrik menaikkan harga singkong menjadi Rp1.500 per kilogram dengan potongan (rafaksi) maksimal 15%. Sementara para pengusaha mengaku tidak mungkin memenuhi tuntutan itu dengan berbagai alasan, salah satunya kualitas singkong petani tidak memadai. Mereka menyebut singkong yang dihasilkan petani banyak yang seukuran wortel. Mungil.

    Dugaan berbagai kalangan itu kiranya terbukti. Rapat yang digelar di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur sejak 15.30 WIB berjalan maraton dan dipenuhi perdebatan hingga baru ditutup pukul 19.00 WIB.

    Selain mempertemukan petani dan perusahaan, rapat juga menghadirkan sejumlah dinas di lingkungan pemprov, akademisi, serta sejumlah dinas dari 6 kabupaten dan DPRD Lampung.

    Rapat panjang itu menghasilkan keputusan yang disampaikan Pj Gubernur Samsudin. Paling tidak ada dua poin penting yang diambil. Pertama, melarang impor singkong dan kedua harga singkong ditetapkan Rp1.400 per kilogram dengan ketentuan rafaksi maksimal 15 persen.

    Tak pelak, keputusan itu dianggap angin segar oleh kalangan petani. Kegembiraan itu terihat dari pernyataan Dasrul Aswin selaku Ketua PPUKI Lampung. Namun, mewakili rekan-rekannya, dia mengaku tidak mau cepat puas dengan keputusan yang telah ditetapkan Pj gubernur.

    “Kita senang dengan adanya keputusan itu, jelas sudah pasti itu. Tapi kami juga tidak mau cepat puas lalu terlena. Kami tak menghendaki kalau keputusannya hanya sebatas pernyataan. Kami akan mengawal hal yang sudah baik ini, sampai konkrit ada payung hukumnya berupa perda (peraturan daerah, red),” tegasnya.

    Dasrul menjelaskan, pada rapat tersebut setidaknya hadir 6 perwakilan PPUKI yakni dari Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Mesuji, Tulang Bawang dan Tulangbawang Barat. Sedangkan 1 PPUKI dari Waykanan absen.

    Saat dimintai pendapatnya menyangkut beberapa perwakilan perusahaan yang menghadiri rapat tapi enggan menandatangani kesepakatan, Dasrul mengatakan tidak menggubrisnya. “Biarkan saja, kalau kami taat peraturan. Kalau keputusan pimpinan daerah sudah ditentukan, kami ikuti. Kalau ada perusahaan yang masih mbalelo, biarin aja!” ungkapnya.

    Sebaliknya dari puluhan pihak perwakilan perusahaan yang hadir cenderung menghindar saat dimintai tanggapannya. “Sudah ya, sudah diputuskan. Kita lihat saja di lapangan mudah-mudahan bisa dijalankan,” ucap salah seorang dari kalangan perusahaan, seraya bergegas meninggalkan ruang rapat.

    Mengomentari hasil kesepakatan itu anggota DPRD Lampung dari Partai Gerindra, Wahrul Fauzi Silalahi, menyambut baik progres tersebut. “Sudah jelas sekarang. Persoalan harga sudah disepakati, DPRD menyambut baik. Nanti tinggal kita ikuti perkembangannya. Apakah akan ada perda atau pansus yang perlu dibentuk.Nanti kita tentukan,” ucapnya, usai menghadiri rapat. (*)



  • Semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan. Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam!

    FENOMENA pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim di seluruh penjuru dunia. Dampaknya sudah sangat terasa, kendati upaya penyelamatan terus dilakukan melalui transisi energi dengan mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Masalahnya, transisi energi membutuhkan investasi sangat besar, sementara perubahan iklim terus terjadi hingga berdampak buruk di sektor paling mendasar, yakni naiknya harga pangan. Indonesia diprediksi, kelak akan mengalami, bahkan  sudah terdampak sejak satu dekade terakhir. Lalu mengapa harga singkong jatuh hingga merugikan petani?

    Laporan dari Oxford Economics menjelaskan soal dampak ini. Firma penasihat ekonomi independen bermarkas di Inggris ini meramal Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan yang cukup tinggi akibat perubahan iklim serta transisi energi yang terjadi di Asia Tenggara.

    Dalam laporannya pada Minggu (15/12), Oxford Economics menyebutkan bahwa negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan akibat cuaca yang tidak pasti hingga biaya melakukan transisi energi.

    Oxford Economics menuliskan harga pangan akan naik mulai dari 30% sampai 59%. Luar biasa, memang, tetapi tidaklah mengagetkan, sebab kenaikan harga pangan sesungguhnya telah terjadi di Indonesia.

    Laporan Oxford Economics membeberkan bahwa setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar satu persen akan mendorong kenaikan biaya produksi pangan sebesar 1-2% di ASEAN.

    Kenaikan biaya produksi dipastikan mengubah struktur harga pangan yang terus mengalami kenaikan dalam waktu cepat hingga menggerus daya beli masyarakat.

    Anjloknya Harga Singkong dan Tingginya Harga Tepung Tapioka

    Perubahan iklim jelas berdampak sangat buruk pada hasil pertanian. Produksi menurun, sementara biaya produksi meninggi yang disebabkan oleh aksi transisi energi.

    Fenomena anjloknya harga singkong di Lampung dapat dijadikan contoh kasus. Petani singkong frustasi karena pabrikan tak mampu mengatrol harga yang menguntungkan petani.

    Sejumlah sebab dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa kejatuhan harga singkong ini terjadi. Mulai dari kualitas singkong petani yang dinilai masih rendah hingga tuduhan negatif yang menuding pabrikan hanya mau untung sendiri. Kalangan politisi atau wakil rakyat di parlemen marah, lalu meminta pabrikan tutup saja bila tidak bisa menguntungkan petani.

    Perdebatan antara pengusaha dengan parlemen di Lampung gagal membuahkan solusi, kecuali tercetusnya rencana pembentukan Pansus Singkong yang dilatarbelakangi kemarahan.. Tidak ada pembicaraan soal perubahan iklim dan transisi energi.  Tidak ada kajian atau pertanyaan, mengapa harga singkong petani  jatuh, sementara harga pangan di bagian hilir (tepung) cenderung stabil, bahkan terus mengalami kenaikan.

    Faktanya, rata-rata kadar aci dari produksi singkong petani masih di bawah standar yang diinginkan pabrik tapioka. Dinas Tanaman Pangan harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini.  Tanaman singkong memang ‘sakti’, memiliki ketahanan dan adaptif  menghadapi perubahan iklim. Tapi bukan berarti tidak diurusi. Dinas Tanaman Pangan wajib mengajari petani, bahwa bercocok tanam singkong dengan hasil kualitas terbaik panen saat usia singkong sembilan bulan lebih.

    Selama ini ada kelaziman petani memanen terlalu dini hingga menimbulkan anomali, yakni antara harga beli di lini gudang pabrikan (singkong mentah) dengan harga jual tepung tapioka yang dihasilkan perusahaan. Anomali harga berada dalam rentang yang sangat jomplang,  meski singkong (dihulu) dan tapioka (dihilir) masuk dalam kelompok barang pangan.

    Diketahui, harga tepung tapioka saat ini berkisar antara Rp10 ribu sampai Rp30 ribu/kg, tergantung wilayah dan kualitasnya. Sementara petani singkong hanya memperoleh harga kurang dari seribu per kilo setelah dipotong rafaksi, dan itu merata terjadi di mana-mana.

    Anomali harga yang sangat jomplang tersebut sesungguhnya terjadi akibat dua hal tadi, yakni akibat perubahan iklim dan transisi energi. Perubahan iklim yang ekstrem mendorong petani memanen singkong sebelum 9 bulan karena  didorong oleh  desakan ekonomi atau karena faktor lain.  Atau, kejatuhan harga singkong barangkali disebabkan oleh  faktor supply yang melimpah dari kebun-kebun milik perusahaan sendiri sehingga memposisikan singkong milik petani sebagai bahan mentah substitusi. Atau akibat impor tapioka dari Thailand yang masuk ke Provinsi Lampung.

    Untuk menjawab ini pemerintah perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan solusi disamping mengatur harga dasar yang dirasakan dapat menguntungkan semua pihak.

    Harus  dipahami, bahwa anomali harga terjadi akibat aksi transisi energi yang memakan biaya tinggi. Biaya tersebut umumnya dibebankan pada petani, bahkan kepada konsumen sehingga berimbas langsung pada keluarga berpenghasilan rendah.

    Oleh karena itu, semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan.

    Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam! (*)