Tag: Kementan


  • Pemerintah kiranya tidak menampik bila program lumbung pangan (food estate) dinilai gagal.

    Jakarta (Progres.co.id): PENERIMAAN itu setidaknya tercermin dari tanggapan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman yang menyebut sederet penyebab kegagalan.

    “Pendekatan yang dijalankan selama ini tidak holistik. Akibatnya proyek-proyek besar seperti program cetak sawah 1 juta hektare dan pengembangan lahan pertanian di Merauke tidak berjalan sesuai harapan,” kata Amran, dikutip dari detikcom, dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MOU) dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Kementan, Senin (10/3).

    Sistem pengelolaan yang parsial dan kurang melibatkan teknologi secara berkelanjutan, sambung dia, adalah sumber dari semua kegagalan. Amran menyoroti bagaimana lahan pertanian skala besar diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu, tetapi setelah itu ditinggalkan tanpa dukungan teknologi yang memadai.

    “Ada keluarga yang mendapatkan lahan hingga 1.000 hektare, bahkan di Merauke ada yang mencapai 10 ribu hektare. Namun, setelah lahan tersebut dibuka, pengelolaannya tidak dilakukan secara modern dan berkelanjutan. Akibatnya, proyek-proyek tersebut tidak bisa berjalan sesuai target yang diharapkan,“ urainya.

    Sebagai solusi, Amran menyebut Indonesia perlu melakukan transformasi dari sistem pertanian tradisional ke pertanian modern. Ia menilai optimalisasi lahan harus dilakukan dengan pendekatan berbasis teknologi, serta melibatkan generasi muda untuk mengelola pertanian secara lebih efisien.

    “Makanya gagasan kami transformasi tradisional ke modern. Ini optimasi, ada lahan milenial dan teknologi. Teknologi masuk, Kadin bisa organize katakan 5.000 sampai 10 ribu hektare, kita ingin sejajar dengan Amerika, China, Jepang,” jelasnya.

    Selain itu, Amran juga menyebut perlu dukungan peralatan pertanian canggih untuk meningkatkan produktivitas. Menurutnya, pemerintah perlu mengalokasikan dana besar untuk menyediakan alat-alat pertanian bagi generasi muda, baik secara gratis maupun dengan skema pembayaran bertahap.

    “Alat ini beli Rp10 triliun, bagikan ke generasi muda, gratis. Sekarang gratis, mungkin nanti 50 persen atau 70 persen bayar, karena dilatih entrepreneurship,” ujarnya. (*)



  • Kementerian Pertanian (Kementan) serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melibatkan perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Pertanian untuk mendukung riset tentang pangan. Universitas Lampung turut di dalamnya.

    Jakarta (Progres.co.id): Ada banyak jalan menuju Roma. Ungkapan ini turut diterapkan pemerintah yang sedang berupaya mewujudkan swasembada pangan. Setidaknya ini tercermin lewat langkah Kementan bareng Kemdiktisaintek yang mengajak kolaborasi setidaknya 30 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Bagaimana caranya?

    Mendiktisaintek Brian Yuliarto menjelaskan, kampus merupakan ujung tombak pengembangan kemandirian pangan. Sehingga setiap kampus harus memilih dua strategi utama yakni peningkatan produktivitas dan hilirisasi. “Pengembangan ini merupakan tantangan besar sekaligus momentum bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih bermakna,” ungkapnya, Selasa (25/2/2025).

    Brian juga menjelaskan perlu dilakukan penguatan industri pangan. Di masa depan, industri pangan harus bisa dikuasai bangsa sendiri agar Indonesia semakin maju.

    Pandangan serupa juga disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, yang datang ke acara penandatanganan Kesepahaman Bersama antara Kemdiktisaintek dan Kementan tentang Kesinergisan Program Bidang Pertanian dan Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam Rangka Mendukung Swasembada Pangan Nasional Berkelanjutan.

    Dikatakannya, Indonesia bisa memiliki keunggulan di sektor pertanian. Langkah utama untuk mencapai kemandirian pangan adalah pelibatan perguruan tinggi dan mahasiswa. “Kita bisa menjadi negara super power di sektor pertanian, itulah keunggulan komparatif kita,” ujarnya.

    Lebih lanjut Amran menguraikan program kerja sama dengan kampus-kampus yang dimaksudnya. Menurutnya, 30 perguruan tinggi yang terlibat akan aktif melakukan penelitian. Adapun riset difokuskan pada 10 komoditas pertanian dengan produktivitas rendah seperti padi, jagung, bawang putih, tebu, sapi, kedelai, pupuk, ubi kayu, gandum, dan kentang.

    Kemudian, sambung Amran, kampus akan ditunjuk memiliki fokus riset masing-masing. Contohnya IPB University fokus melakukan penelitian komoditas padi, Unhas meneliti jagung, dan UGM meneliti kedelai.

    Terkait anggaran penelitian, dia menjelaskan hal itu nantinya berasal dari Kementerian Pertanian, Kemdiktisaintek, dan perguruan tinggi masing-masing.

    Universitas Lampung (Unila) turut menghadiri sosialisasi ini. Unila dipimpin langsung oleh Rektor Lusmeilia Afriani. Selain BEM, rombongan juga berisikan perwakilan pengurus IKA Unila, termasuk di dalamnya Ketua Harian Ikaperta (Ikatan Keluarga Pertanian) Fahuri Wherlian Ali.

    Menurut penjelasannya, sama seperti perguruan tinggi lain di Indonesia yang dilibatkan dalam program ini. Unila juga akan melakukan riset terhadap komoditi tertentu.

    “Mungkin akan ada pembahasan lebih lanjut antara rektor dan pihak Fakultas Pertanian untuk penentuan jenis komoditasnya. Pada prinsipnya Ikaperta menyambut baik kerja sama ini. Bahkan saya akan berkoordinasi dengan Ketua Umum Ikaperta guna menentukan kontribusi apa yang bisa dilakukan Ikaperta dalam mendukung upaya riset yang akan dilakukan. Terlebih upaya ini merupakan langkah penunjang untuk mewujudkan swasembada pangan. Jadi pasti Ikaperta akan tirut mengambil peran di dalamnya,” terang Werli, sapaan akrabnya. (*)



  • Kendati Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan harga singkong, Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung tetap melanjutkan tugas.

    Bandarlampung (Progres.co.id): “PANSUS tetap lanjut karena sudah dibentuk dan terus bekerja sampai selesai. Insyaallah, 7 Maret nanti hasilnya akan diparipurnakan,” terang Ahmad Basuki, anggota pansus, kepada awak media, Jumat (31/1/2025).

    Ditambahkannya, keputusan bersama Kementan menjadi rujukan dan yurisprudensi harga minimal, terutama dalam kondisi darurat seperti saat ini. Pansus dibentuk untuk menciptakan harga yang berkeadilan bagi petani dan pengusaha tapioka.

    “Petani singkong dan perusahaan tapioka adalah satu kesatuan ekosistem yang saling berdampingan dan membutuhkan. Tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan atau tersakiti,” tegas Abas, sapaan akrab Ahmad Basuki.

    Abas, yang juga merupakan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung menyoroti bahwa kondisi harga yang jatuh serta potongan rafaksi yang besar selama ini telah melukai rasa keadilan petani. Karena itu, keputusan yang telah diambil Kementan harus dihormati dan dijalankan oleh semua pihak.

    “Apa yang diputuskan Menteri Pertanian hari ini harus kita apresiasi setinggi-tingginya sebagai bentuk kehadiran negara untuk rakyatnya. Pak Menteri ini bukan hanya bapaknya petani singkong, tapi juga bapaknya pengusaha tapioka. Maka, keputusan ini harus diamankan bersama dan diawasi implementasinya di lapangan,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan harga ubi kayu dalam rapat koordinasi dengan industri tapioka, pada 31 Januari 2025 di Jakarta. Dalam kesepakatan tersebut, menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.

    Selain menetapkan harga, Kementan juga mengatur tata niaga tepung tapioka dan tepung jagung sebagai komoditas lartas (dilarang dan dibatasi). Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan kebutuhan bahan baku dalam negeri terpenuhi sebelum dilakukan impor. Impor hanya diperbolehkan jika bahan baku dalam negeri tidak mencukupi atau telah habis diserap seluruhnya oleh industri.(*)



  • Cukup tunjukkan KTP atau kartu tani, petani dapat kemudahan menebus pupuk bersubsidi di kios-kios atau pengecer. Lampung peroleh jatah pupuk subsidi 812.000 ton atau setara Rp 4,21 triliun

    Jakarta (Progres.co.id): PEMERINTAH menerapkan skema baru cara membeli dan menebus pupuk bersubsidi mulai 1 Januari 2025.

    Sebelumnya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menetapkan alokasi pupuk subsidi 9,5 juta ton pada tahun ini. Adapun rincian alokasinya terbagi menjadi tiga jenis, yakni urea 4,6 juta ton, NPK sebanyak 4,2 juta ton dan NPK untuk Kakao sebesar 147.000 ton dan organik 500.000 ton. 

    Aturan ini juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) baru pupuk bersubsidi pada 2025 yakni pupuk urea sebesar Rp 2.250 per kilogram (kg), pupuk NPK Rp 2.300 per kg, pupuk NPK untuk kakao Rp 3.300 per kg, serta pupuk organik Rp 800 per kg. 

    Pupuk subsidi ini diperuntukan bagi petani yang melakukan usaha tani di subsektor tanaman pangan berupa padi, jagung dan kedelai. Kemudian, hortikultura yang meliputi cabai, bawang merah dan bawang putih, dan/atau perkebunan yag meliputi tebu rakyat, kakao dan kopi. 

    Adapun luas lahan sawah petani yang dapat alokasi pupuk subsidi maksimal 2 hektare (ha), termasuk petani yang tergabung di Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau Perhutanan Sosial sesuai ketentuan yang berlaku. 

    Cara Peroleh Pupuk Subsidi

    Dijelaskan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Andi Nur Alam Syah, petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi harus tergabung ke dalam Kelompok Tani (Poktan) dan terdaftar dalam e-RDKK.

    “Jadi petani harus terdaftar dulu dalam e-RDKK. Pendataan petani penerima melalui e-RDKK dapat dievaluasi 4 bulan sekali pada tahun berjalan. Dengan demikian masih bisa melakukan pembaharuan data petani dan kebutuhan pupuk ketika sistem e-RDKK dibuka,” kata Andi.

    Sementara Direktur Pupuk dan Pestisida Kementan, Jekvy Hendra, menguraikan Kepala Dinas Pertanian Provinsi juga telah menetapkan penerima pupuk subsidi hingga ke tingkat kecamatan dan memastikan mekanisme pembayaran pupuk subsidi aman.

    “Saat ini 100 persen daerah telah penetapan alokasi pupuk subsidi hingga tingkat kecamatan, maka tidak ada kendala lagi penyaluran sesuai dengan e-RDKK. Pupuk Indonesia pun menjamin ketersediaannya di tiap daerah,” jelas Jekvy.(*)



  • Petani kerap dijadikan komoditi. Diperjual belikan atau dibarter dengan reputasi. Pada rezim lalu, pemerintah terkesan begitu peduli petani dengan menyediakan KUR berdosis tinggi.

    (Progres.co.id): Tapi tengok realitasnya. Pihak bank enggan meneteskan kredit usaha rakyat ke petani lantaran dianggap tidak memiliki agunan dan usaha tani tergolong berisiko tinggi. Alhasil petani tetap mengelus dada, sementara berkat lips service pemerintah terlanjur dianggap berpihak pada Kaum Marhaen dan menangguk keplok tangan.

    Kuasa berganti. Presiden Prabowo kini sebagai pemegang tongkat komando. Ada yang bilang sosok satu ini membuat lompatan besar dengan menaruh perhatian serius pada sektor pangan, kendati sayup terdengar ada juga yang menyebut dia meng-copy paste sepak terjang mantan mertuanya yang saat memerintah berhasil membuat Indonesia ber-swasembada beras.  

    Terlepas dari semua itu nyatanya garis kebijakan sudah ditorehkan. Prabowo menitahkan, Indonesia mesti bisa mengulang kesuksesan itu dalam tempo sesingkat-singkatnya. Swasembada pangan wajib diwujudkan. Tak pelak semua elemen pun dikerahkan. Segala daya upaya dilakukan. Termasuk menginstruksikan Himbara(Himpunan Bank Milik Negara) untuk menyiapkan kas yang nantinya disalurkan sebagai KUR kepada petani dan pembiayaan pengadaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) serta Rice Milling Unit (RMU) atau alat mesin pertanian yang difungsikan untuk menggiling gabah menjadi beras.

    Angka KUR yang dianggarkan juga tidak main-main menyentuh Rp300 triliun. Hanya saja belajar dari pengalaman sebelumnya, para petinggi bank dalam Himbara terbiasa “berkepribadian ganda” atau sebut saja terlatih ‘bermuka dua”. Di satu sisi mulutnya gamblang menyahut “Yes, Sir!” pada Presiden Prabowo, sementara di sisi lain wajahnya menyiratkan air muka keraguan berkadar tinggi untuk menyalurkan KUR pada petani.

    Tak bisa dipungkiri bagi para bankir, petani yang notabene rakyat jelata itu, berpotensi tinggi kredit macet. Pada benak mereka seakan telah bersemayam ancaman bahaya laten dari orang-orang miskin yang nantinya bakal sangat mungkin berlindung di balik keluhan gagal panen atau hal lainnya. Ada segudang kecurigaan terhadap petani kita.

    Untungnya dalam penjelasan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman ditegaskan, petani dapat memperoleh KUR senilai Rp100 juta tanpa agunan. Semoga jaminan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya di tataran penerapan. Jangan sampai anggota Himbara kembali menjalankan standar ganda yang pada praktiknya enggan menoleh ke petani.

    Oh iya, bagi para bankir yang masih demen curiga pada petani. Anda sekalian sangat mungkin tahu cerita tentang Prof. Muhammad Yunus. Peraih nobel dari Bangladesh. Di negaranya, lelaki 84 tahun ini, dikenal sebagai pelopor keuangan mikro. Predikat itu tidak ujug-ujug disematkan tanpa latar belakang. Sama seperti peran bankir di Indonesia yang menyalurkan pinjaman ke nasabah, Yusuf pun bertindak serupa. Hanya bedanya kalau Himbara “alergi” dengan petani miskin, Prof. Yunus justru meminjamkan dana pada masyarakat paling miskin di Bangladesh.

    Dia menyorongkan bantuan keuangan kepada pengusaha skala kecil yang tidak dibantu bank-bank konvensional. Karena terobosannya yang di luar kelaziman itu dia juga dijuluki sebagai ‘bankir kaum miskin’. Hingga akhirnya diganjar penghargaan nobel PBB.

    Kalau belajar dari upaya Prof. Yunus, masihkah bankir Indonesia tetap menggenggam penilaiannya sambil terus melabeli petani dan orang miskin musuh bebuyutan KUR yang mesti dihindari. Atau jangan-jangan keengganan mengopeni rakyat jelata itu, lantaran ketiadaan mental dari para bankir penikmat gaji tinggi dan penyicip seabrek fasilitas luks itu yang mampu (tepatnya bersedia) bekerja keras sambil telaten mengurusi karakter petani?

    Untuk memperoleh jawabannya perlu kontribusi publik dalam bentuk partisipasi aktif mengawal pelaksanaan instruksi Mentan Amran. Sambil mencermati langkah para bankir di Himbara agar tidak mbalelo menelikung kebijakan Presiden Prabowo.(*)



  • Lampung telah mengusulkan cetak sawah baru seluas 33 ribu hektare. Lahannya sudah dipersiapkan sejak 2024, namun finalisasinya masih menunggu keputusan  dari Kementerian Pertanian RI.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura Bani Ispriyanto menegaskan Provinsi Lampung belum mendapatkan program cetak sawah baru dari pemerintah pusat.

    “Lampung belum mendapat program cetak sawah baru. Kementan masih fokus untuk wilayah Merauke dan Kalimantan,” tulisnya lewat pesan singkat, Minggu (29/12/2024).

    Kendati demikian, Bani menjelaskan, Pemerintah Pemprov Lampung telah mengusulkan cetak sawah baru seluas 33 ribu hektare untuk mendukung tercapainya swasembada pangan di provinsi ini.

    Usalan cetak sawah baru tersebut diarahkan di Tulangbawang, Way Kanan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Mesuji dan Lampung Selatan.

    Sejauh ini, bebernya, pihaknya telah mempersiapkan lahan rawa seluas 28 ribu hektare sejak 2024 dan akan terus dioptimalisasi sampai 2025 untuk menjadi areal persawahan baru.

    Lahan cetak sawah baru tersebut sebagian besar masih dalam proses identifikasi lahan. Sekitar 8.000 hektare sebentar lagi rampung.

    Proses identifikasi lahan sawah baru dilakukan hati-hati. Lahan mesti bebas dari sengketa hukum dan tidak sedang digunakan untuk kegiatan apapun.

    “Lahan mesti ‘clear’ dan ‘clean’, artinya lahan tidak bersengketa. Persawahan baru mesti berkelanjutan, artinya jangan sampai beralih fungsi di kemudian hari,” ujarnya.(*)