Tag: pansus singkong


  • Semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan. Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam!

    FENOMENA pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim di seluruh penjuru dunia. Dampaknya sudah sangat terasa, kendati upaya penyelamatan terus dilakukan melalui transisi energi dengan mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Masalahnya, transisi energi membutuhkan investasi sangat besar, sementara perubahan iklim terus terjadi hingga berdampak buruk di sektor paling mendasar, yakni naiknya harga pangan. Indonesia diprediksi, kelak akan mengalami, bahkan  sudah terdampak sejak satu dekade terakhir. Lalu mengapa harga singkong jatuh hingga merugikan petani?

    Laporan dari Oxford Economics menjelaskan soal dampak ini. Firma penasihat ekonomi independen bermarkas di Inggris ini meramal Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan yang cukup tinggi akibat perubahan iklim serta transisi energi yang terjadi di Asia Tenggara.

    Dalam laporannya pada Minggu (15/12), Oxford Economics menyebutkan bahwa negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan akibat cuaca yang tidak pasti hingga biaya melakukan transisi energi.

    Oxford Economics menuliskan harga pangan akan naik mulai dari 30% sampai 59%. Luar biasa, memang, tetapi tidaklah mengagetkan, sebab kenaikan harga pangan sesungguhnya telah terjadi di Indonesia.

    Laporan Oxford Economics membeberkan bahwa setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar satu persen akan mendorong kenaikan biaya produksi pangan sebesar 1-2% di ASEAN.

    Kenaikan biaya produksi dipastikan mengubah struktur harga pangan yang terus mengalami kenaikan dalam waktu cepat hingga menggerus daya beli masyarakat.

    Anjloknya Harga Singkong dan Tingginya Harga Tepung Tapioka

    Perubahan iklim jelas berdampak sangat buruk pada hasil pertanian. Produksi menurun, sementara biaya produksi meninggi yang disebabkan oleh aksi transisi energi.

    Fenomena anjloknya harga singkong di Lampung dapat dijadikan contoh kasus. Petani singkong frustasi karena pabrikan tak mampu mengatrol harga yang menguntungkan petani.

    Sejumlah sebab dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa kejatuhan harga singkong ini terjadi. Mulai dari kualitas singkong petani yang dinilai masih rendah hingga tuduhan negatif yang menuding pabrikan hanya mau untung sendiri. Kalangan politisi atau wakil rakyat di parlemen marah, lalu meminta pabrikan tutup saja bila tidak bisa menguntungkan petani.

    Perdebatan antara pengusaha dengan parlemen di Lampung gagal membuahkan solusi, kecuali tercetusnya rencana pembentukan Pansus Singkong yang dilatarbelakangi kemarahan.. Tidak ada pembicaraan soal perubahan iklim dan transisi energi.  Tidak ada kajian atau pertanyaan, mengapa harga singkong petani  jatuh, sementara harga pangan di bagian hilir (tepung) cenderung stabil, bahkan terus mengalami kenaikan.

    Faktanya, rata-rata kadar aci dari produksi singkong petani masih di bawah standar yang diinginkan pabrik tapioka. Dinas Tanaman Pangan harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini.  Tanaman singkong memang ‘sakti’, memiliki ketahanan dan adaptif  menghadapi perubahan iklim. Tapi bukan berarti tidak diurusi. Dinas Tanaman Pangan wajib mengajari petani, bahwa bercocok tanam singkong dengan hasil kualitas terbaik panen saat usia singkong sembilan bulan lebih.

    Selama ini ada kelaziman petani memanen terlalu dini hingga menimbulkan anomali, yakni antara harga beli di lini gudang pabrikan (singkong mentah) dengan harga jual tepung tapioka yang dihasilkan perusahaan. Anomali harga berada dalam rentang yang sangat jomplang,  meski singkong (dihulu) dan tapioka (dihilir) masuk dalam kelompok barang pangan.

    Diketahui, harga tepung tapioka saat ini berkisar antara Rp10 ribu sampai Rp30 ribu/kg, tergantung wilayah dan kualitasnya. Sementara petani singkong hanya memperoleh harga kurang dari seribu per kilo setelah dipotong rafaksi, dan itu merata terjadi di mana-mana.

    Anomali harga yang sangat jomplang tersebut sesungguhnya terjadi akibat dua hal tadi, yakni akibat perubahan iklim dan transisi energi. Perubahan iklim yang ekstrem mendorong petani memanen singkong sebelum 9 bulan karena  didorong oleh  desakan ekonomi atau karena faktor lain.  Atau, kejatuhan harga singkong barangkali disebabkan oleh  faktor supply yang melimpah dari kebun-kebun milik perusahaan sendiri sehingga memposisikan singkong milik petani sebagai bahan mentah substitusi. Atau akibat impor tapioka dari Thailand yang masuk ke Provinsi Lampung.

    Untuk menjawab ini pemerintah perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan solusi disamping mengatur harga dasar yang dirasakan dapat menguntungkan semua pihak.

    Harus  dipahami, bahwa anomali harga terjadi akibat aksi transisi energi yang memakan biaya tinggi. Biaya tersebut umumnya dibebankan pada petani, bahkan kepada konsumen sehingga berimbas langsung pada keluarga berpenghasilan rendah.

    Oleh karena itu, semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan.

    Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam! (*)

     



  • Nasib petani singkong kian Miris. Hasil panennya hanya dihargai 900 perak per kilogram. Anggota dewan coba tunjukkan keberpihakan. Mendesak pengusaha tapioka menaikkan harga singkong menjadi Rp1.500 dengan potongan 15 persen. Tapi pengusaha keukeuh. Mereka kompak gelengkan kepala.

    Bandarlampung (Progres.co.id): Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPRD Provinsi Lampung terasa alot. Tak pelak rapat yang mengundang Asisten II Setda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Holtikultura, serta Dinas Perkebunan juga 25 pimpinan perusahaan industri pengolahan tapioka se-Provinsi Lampung itu berlangsung berlarut-larut.

    Padahal, seperti disampaikan Ketua Komisi II Ahmad Basuki, rapat dimaksudkan untuk mencari jalan keluar berkeadilan. Adil buat petani, adil pula bagi pihak pengusaha. Bukan sebaliknya, pengusaha untung tapi nasib petani buntung.

    “Kami tidak mau seperti itu. Semua harus diuntungkan dari kondisi ini. Makanya kami berpandangan sudah sewajarnya petani singkong memperoleh harga wajar dengan kondisi sekarang,” kata Basuki, Senin (16/12/2024).

    Dia mengimbuhkan, DPRD Lampung tegas menolak harga Rp900. Menurut Basuki, angka tersebut tidak rasional. Pandangan ini sejalan dengan aspirasi petani singkong yang sebelumnya sempat berunjuk rasa. Mereka menuntut pemerintah mendesak pabrik agar menaikkan harga singkong menjadi Rp1.500 per kilogram dengan rafraksi 15 persen.

    Mendengar kehendak itu 26 perwakilan pengusaha yang menghadiri RDP langsung angkat bicara. Mudah diterka, mereka menolak keras. Salah satu dasar penolakan yakni telah adanya kesepakatan Gubernur Lampung pada 2021 lalu.

    Disamping itu, sebut pihak pengusaha, dalam praktik keseharian di lapangan ada juga pengusaha yang telah membeli singkong petani di atas Rp900. Seperti Sungai Budi yang membeli dengan harga Rp1.050 per kg. Demikian pula dengan SPM, misalnya, yang membanderol Rp1.100 sampai Rp1.200 per kg.

    Alasan lain penolakan seperti disampaikan Tigor, perwakilan PT. Sinar Pematang Mulia. “Sebenarnya kami sudah membeli di atas harga kesepakatan. Tapi kalau dipatok menjadi Rp1.500 jelas terasa berat. Apalagi faktanya sekarang singkong yang dijual petani itu cuma seukuran wortel. Terlalu kecil. Jadi berat buat kami kalau pakai harga Rp1.500,” ungkapnya.

    Ukuran singkong atau usia tanam yang tidak cukup (di bawah 9 bulan) dikeluhkan pengusaha sebagai biang kerok kadar aci yang rendah.

    Merasa belum menemukan titik temu yang pas buat kedua belah pihak, DPRD Lampung melalui Ahmad Basuki, merekomendasikan pemerintah daerah untuk segera membentuk tim khusus. Tujuannya guna mengkaji dan merumuskan harga dasar eceran terendah singkong pada 2025 mendatang.

    Nanti, imbuhnya, kajian ini akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (perda) atau Peraturan Gubernur (pergub). Selain itu DPRD juga meminta Pemprov menetapkan singkong sebagai komoditas pangan unggulan Lampung.

    “Langkah itu semua perlu diambil. Biar hal serupa ini tidak berulang kembali. Kami minta dinas juga harus aktif melakukan pendampingan kepada petani untuk meningkatkan produktivitas lahan,” sergah Basuki.

    Sementara itu sebelumnya anggota Komisi II DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, telah menyoroti perihal anjloknya harga singkong. “Kondisi ini jelas tidak fair. Sangat tidak menguntungkan petani. Sudahlah harga (singkong) murah ditambah lagi dengan potongan tinggi,” ucapnya seperti dikutip media.

    Dia menambahkan, harga singkong yang melorot itu beriringan dengan biaya pengelolaan lahan yang cukup tinggi seperti pengadaan pupuk, biaya pemeliharaan, dan lainnya.

    Kondisi demikian menurut Mikdar kian membuat sesak nasib petani. Sementara untuk beralih menanam komoditi lain bukan merupakan solusi terbaik, mengingat kondisi (unsur hara) tanah yang sudah terlanjur rusak karena menanam singkong. Untuk memulihkan kesuburan tanah juga bukan perkara mudah. Sementara lahan petani juga terbatas. “Ini sangat tidak menguntungkan petani kita,” tegasnya.

    Di sisi lain Mikdar juga menyesali masih ada praktik nakal para pengusaha yang acapkali mengakali petani dengan “nyolong timbangan”. Dia juga menggugat dalih pengusaha yang membeli singkong dengan harga murah lantaran menganggap ukuran dan kualitas singkong tidak memadai.

    “Kalau memang perusahaan menganggap singkongnya belum cukup umur atau di bawah sembilan bulan ya jangan diterima. Kenyataannya bilang singkongnya nggak bagus, tapi tetap dibeli. Seperti ada standar ganda. Kan, kasihan petaninya,” ucap Mikdar prihatin. (*)