Tag: perubahan iklim


  • Pemerintah pusat menjadikan Sumatera Selatan (Sumsel) bersama dua provinsi lain, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, sebagai proyek pilot penerapan mata ajar pangan lokal.

    Sumatera Selatan (Progres.co.id): PENERAPAN mata ajar pangan lokal itu sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah mengantisipasi perubahan iklim yang akan terjadi di Indonesia.

    “Bicara perubahan iklim, semua akan berdampak. Bukan hanya kabupaten tertentu. Sebagai pendidik, kami dorong implementasi kurikulum ini, agar bisa mengantisipasi dampak dari perubahan iklim di masa mendatang,” kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan, Awaluddin, Rabu (22/1/2025).

    Mengenai peluncuran mata pelajaran pangan lokal yang masuk dalam Kurikulum Merdeka  sebagai mata pelajaran muatan lokal ini, dia menyebut akan diuji coba untuk jenjang Sekolah Menengah Atas/Kejuruan atau SMA/SMK. “Tapi sebelum diajarkan secara menyeluruh, kita akan coba pada beberapa sekolah dulu,” imbuh Awaluddin seperti dikutip Tempo.co.

    Lebih lanjut dia menguraikan, kegiatan tersebut bekerja sama dengan World Agroforestry atau ICRAF yang merupakan lembaga penelitian internasional berfokus pada pengelolaan hutan hujan tropis dan cagar alam. Nantinya, kata dia, Dinas Pendidikan Sumatera Selatan, ICRAF, dan Tim Pengembangan akan mengatur petunjuk dan teknis dalam pengembangan materi mata ajar Pangan Lokal.

    “Semua akan kami petakan dalam juknis. Sebelumnya kan belum ada, maka ini akan kami kembangkan melalui tim untuk juknis kurikulum muatan lokal ini,” kata Awaluddin.

    Sedangkan Andree Ekadinata, Direktur ICRAF, mengatakan proyek pilot dilakukan ICRAF bersama daerah dengan potensi pangan yang cukup besar. Tujuannya, siswa dapat memahami banyak sumber pangan di sekitar wilayahnya masing-masing, tidak melulu beras dan nasi.

    “Kemudian, kita juga ingin generasi masa depan bisa punya ketahanan iklim. Sehingga ketika terjadi perubahan iklim, mereka tahu bahwa ada sumber pangan lain yang bisa dikonsumsi,” kata Andree.(*)



  • Semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan. Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam!

    FENOMENA pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim di seluruh penjuru dunia. Dampaknya sudah sangat terasa, kendati upaya penyelamatan terus dilakukan melalui transisi energi dengan mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Masalahnya, transisi energi membutuhkan investasi sangat besar, sementara perubahan iklim terus terjadi hingga berdampak buruk di sektor paling mendasar, yakni naiknya harga pangan. Indonesia diprediksi, kelak akan mengalami, bahkan  sudah terdampak sejak satu dekade terakhir. Lalu mengapa harga singkong jatuh hingga merugikan petani?

    Laporan dari Oxford Economics menjelaskan soal dampak ini. Firma penasihat ekonomi independen bermarkas di Inggris ini meramal Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan yang cukup tinggi akibat perubahan iklim serta transisi energi yang terjadi di Asia Tenggara.

    Dalam laporannya pada Minggu (15/12), Oxford Economics menyebutkan bahwa negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia akan mengalami kenaikan harga pangan akibat cuaca yang tidak pasti hingga biaya melakukan transisi energi.

    Oxford Economics menuliskan harga pangan akan naik mulai dari 30% sampai 59%. Luar biasa, memang, tetapi tidaklah mengagetkan, sebab kenaikan harga pangan sesungguhnya telah terjadi di Indonesia.

    Laporan Oxford Economics membeberkan bahwa setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar satu persen akan mendorong kenaikan biaya produksi pangan sebesar 1-2% di ASEAN.

    Kenaikan biaya produksi dipastikan mengubah struktur harga pangan yang terus mengalami kenaikan dalam waktu cepat hingga menggerus daya beli masyarakat.

    Anjloknya Harga Singkong dan Tingginya Harga Tepung Tapioka

    Perubahan iklim jelas berdampak sangat buruk pada hasil pertanian. Produksi menurun, sementara biaya produksi meninggi yang disebabkan oleh aksi transisi energi.

    Fenomena anjloknya harga singkong di Lampung dapat dijadikan contoh kasus. Petani singkong frustasi karena pabrikan tak mampu mengatrol harga yang menguntungkan petani.

    Sejumlah sebab dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa kejatuhan harga singkong ini terjadi. Mulai dari kualitas singkong petani yang dinilai masih rendah hingga tuduhan negatif yang menuding pabrikan hanya mau untung sendiri. Kalangan politisi atau wakil rakyat di parlemen marah, lalu meminta pabrikan tutup saja bila tidak bisa menguntungkan petani.

    Perdebatan antara pengusaha dengan parlemen di Lampung gagal membuahkan solusi, kecuali tercetusnya rencana pembentukan Pansus Singkong yang dilatarbelakangi kemarahan.. Tidak ada pembicaraan soal perubahan iklim dan transisi energi.  Tidak ada kajian atau pertanyaan, mengapa harga singkong petani  jatuh, sementara harga pangan di bagian hilir (tepung) cenderung stabil, bahkan terus mengalami kenaikan.

    Faktanya, rata-rata kadar aci dari produksi singkong petani masih di bawah standar yang diinginkan pabrik tapioka. Dinas Tanaman Pangan harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini.  Tanaman singkong memang ‘sakti’, memiliki ketahanan dan adaptif  menghadapi perubahan iklim. Tapi bukan berarti tidak diurusi. Dinas Tanaman Pangan wajib mengajari petani, bahwa bercocok tanam singkong dengan hasil kualitas terbaik panen saat usia singkong sembilan bulan lebih.

    Selama ini ada kelaziman petani memanen terlalu dini hingga menimbulkan anomali, yakni antara harga beli di lini gudang pabrikan (singkong mentah) dengan harga jual tepung tapioka yang dihasilkan perusahaan. Anomali harga berada dalam rentang yang sangat jomplang,  meski singkong (dihulu) dan tapioka (dihilir) masuk dalam kelompok barang pangan.

    Diketahui, harga tepung tapioka saat ini berkisar antara Rp10 ribu sampai Rp30 ribu/kg, tergantung wilayah dan kualitasnya. Sementara petani singkong hanya memperoleh harga kurang dari seribu per kilo setelah dipotong rafaksi, dan itu merata terjadi di mana-mana.

    Anomali harga yang sangat jomplang tersebut sesungguhnya terjadi akibat dua hal tadi, yakni akibat perubahan iklim dan transisi energi. Perubahan iklim yang ekstrem mendorong petani memanen singkong sebelum 9 bulan karena  didorong oleh  desakan ekonomi atau karena faktor lain.  Atau, kejatuhan harga singkong barangkali disebabkan oleh  faktor supply yang melimpah dari kebun-kebun milik perusahaan sendiri sehingga memposisikan singkong milik petani sebagai bahan mentah substitusi. Atau akibat impor tapioka dari Thailand yang masuk ke Provinsi Lampung.

    Untuk menjawab ini pemerintah perlu melakukan penelitian untuk mendapatkan solusi disamping mengatur harga dasar yang dirasakan dapat menguntungkan semua pihak.

    Harus  dipahami, bahwa anomali harga terjadi akibat aksi transisi energi yang memakan biaya tinggi. Biaya tersebut umumnya dibebankan pada petani, bahkan kepada konsumen sehingga berimbas langsung pada keluarga berpenghasilan rendah.

    Oleh karena itu, semua pihak perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian melalui penelitian, memberikan edukasi bercocok tanam, mengupayakan investasi teknologi transisi energi berbiaya murah, dengan tujuan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk digunakan oleh pengambil kebijakan.

    Memperbaiki harga singkong tak elok dilakukan dengan melempar tuduhan macam-macam. Gunakan ilmu pengetahuan. Jangan menyerang pengambil kebijakan, apalagi mengancam! (*)

     



  • Kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang diterapkan Uni Eropa (EU) menuai kritik dari Indonesia. Ketua Tim Peningkatan Akses Pasar Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Ruth Evelin Pasaribu menjelaskan kebijakan ini muncul karena kekhawatiran negara maju terhadap perubahan iklim. 

    Bandar Lampung (Progres.co.id): “EUDR muncul karena EU melihat perubahan iklim tidak terkendali. Berdasarkan data World Trade Report 2022, perubahan iklim telah terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia,” ujar Ruth saat menjadi pemateri dalam workshop The New EU Deforestation Regulation yang diselenggarakan oleh pemerintah Provinsi Lampung di Hotel Golden Tulip, Rabu (11/12/2024).

    Menurutnya, EUDR lahir dari kekecewaan EU terhadap pelaksanaan Paris Agreement yang disepakati sejak 2015. Perjanjian ini menargetkan penurunan emisi hingga di bawah 2 derajat Celsius dengan kontribusi dari seluruh negara anggota. Namun, EU merasa sebagian negara belum memenuhi komitmen tersebut.

    “Kita sudah punya kesepakatan multilateral melalui Paris Agreement. Tapi EU merasa tidak melihat adanya perubahan yang signifikan. Akhirnya, mereka mengambil langkah sepihak dengan menerapkan EUDR,” jelas Ruth.

    EUDR akan berlaku untuk tujuh komoditas utama: minyak sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai, dan daging (terutama daging kerbau). Komoditas ini dipilih karena sebagian besar dimiliki negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brasil.

    “EU tidak memproduksi kopi, tapi memasukkannya ke daftar pengawasan karena kopi berasal dari negara-negara kita. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim banyak terjadi di negara produsen,” ujar Ruth.

    Kebijakan ini juga mewajibkan semua operator menjalani prosedur uji tuntas (mandatory due diligence), termasuk pengumpulan informasi, penilaian risiko, dan mitigasi risiko. Produk yang tidak memenuhi ketentuan, seperti bebas deforestasi dan legal, dilarang masuk atau keluar dari EU.

    Ruth menyoroti potensi dampak negatif EUDR, terutama terhadap ekspor Indonesia ke EU yang mencapai USD 16 miliar. Minyak sawit, sebagai salah satu komoditas unggulan, diprediksi menjadi sektor yang paling terdampak. Selain itu, kebijakan ini dapat meningkatkan biaya operasional eksportir dan mengurangi pendapatan petani kecil.

    “Kebijakan ini juga menciptakan ketidakpastian perdagangan, karena persyaratan dan perubahan aturan yang terus berkembang,” kata Ruth.

    Pemerintah Indonesia secara tegas menolak EUDR karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip organisasi perdagangan dunia (WTO) dan semangat kerja sama dalam menangani perubahan iklim. Langkah yang telah diambil meliputi keberatan resmi di berbagai forum internasional, termasuk WTO, misi bersama dengan Malaysia, hingga konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait.

    “Kami sudah menyampaikan surat resmi pada tahun 2022, didukung oleh 14 negara, termasuk Brasil. Kami menolak EUDR karena ini melanggar prinsip kesepakatan multilateral,” tegas Ruth.

    Meski begitu, Ruth mengingatkan EUDR akan tetap diterapkan cepat atau lambat. Oleh karena itu, ia mengimbau agar Indonesia mulai menyiapkan kebijakan pendukung, seperti meningkatkan ketelusuran (traceability) produk dan meminimalkan deforestasi.

    “Kita tidak bisa menunggu sampai kebijakan ini diberlakukan penuh. Kita harus bergerak sekarang agar ekspor kita tetap berjalan,” tutup Ruth.(*)